Polisi melakukan kekerasan, pembubaran paksa serta penangkapan terhadap mahasiswa Papua pada aksi dukung masyarakat adat cabut izin perusahan di tanah suku Awyu dan Moi, Papua. – Yomis Kiwo.
Balitopik.com – Ikatan Mahasiswa dan Masyarakat Papua (IMMAPA) Bali merespon sikap represifitas aparat kepolisian terhadap aksi Mahasiswa Papua untuk untuk mendukung perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi di Mahkamah Agung (MA) Jakarta dalam mempertahankan tanah dan hutan adatnya. Aksi itu dilakukan di Jalan Raya Renon, Denpasar, Senin (10/6/2024).
Hal itu disampaikan oleh koordinator aksi, Yomis Kiwo dalam konferensi pers pada Kamis (14/6).
Yomis Kiwo menjelaskan, suku Awyu dan suku Moi terus melakukan perlawanan untuk memperjuangkan hutan adat mereka yang lagi dikeruk oleh investor.
Demi menyelamatkan hutan adat Papua masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama sedang terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat.
Namun saat aksi damai untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dilakukan, pihak kepolisian melakukan tindakan anarkis dan membubarkan massa aksi dengan paksa, menyemprot gas air mata dan water cannon. Serta pemukulan oleh pihak kepolisian terhadap massa aksi secara brutal.
Selain itu, kata dia, pihak kepolisian menangkap 4 orang mahasiswa papua, mereka diseret, dipukul dan diborgol lalu diangkut ke dalam mobil dalmas. Salah satunya digotong dan dilempar mobil dalmas. Tak hanya massa aksi 1 orang dari LBH Bali pun diborgol dan diangkut ke dalam mobil.
Yomis Kiwo menyesalkan setelah kejadian itu, banyak media di Bali yang dinilainya memberitakan yang tidak sesuai dengan fakta, lebih memojokkan massa aksi.
Disebutkan, sejumlah massa aksi yang terluka akibat represifitas aparat kepolisian.
“Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa dan Masyarakat Papua (IMMAPA) Bali menyuarakan aspirasi untuk mendukung suku Awyu dan Moi yang sedang menggugat di Mahkama Agung (MA) Jakarta,” ucap Yomis Kiwo dalam konferensi pers tersebut.
Bahwa suku Awyu menggugat pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro – bagian dari suku Awyu.
Masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, 2 perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh oleh PTUN Jakarta.
Masyarakat adat suku Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024 dan menggugat keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS.
Karena 2 perusahaan itu disebutnya akan merusak hutan yang menjadi sumber kehidupan di Papua, sumber ketersediaan pangan, air dan obat-obatan.
Hutan tersebut juga sebagai habitat bagi flora dan fauna endemik Papua serta menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim.
“Dengan melihat perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi adalah perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua maka dari itu kami IMMAPA Bali melakukan aksi mendukung masyarakat Awyu dan Moi,” tutupnya.