Balitopik.com, DENPASAR – Ahli waris dari tanah sengketa di Pulau Serangan yakni Siti Sapurah alias Ipung sudah tak sabar melakukan eksekusi lahan setelah Mahkamah Agung (MA) mengirimkan salinan putusan yang isinya menolak permohonan Kasasi para pemohon. Salinan putusan MA tersebut telah diterima oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 10 Desember 2025. Selanjutnya diteruskan kepada para pihak pada 11 Desember 2025.
“Harapan kami dengan adanya putusan MA itu tanah itu bisa segera kami eksekusi. Tentu kami akan segera mengajukan permohonan penetapan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Denpasar untuk mengambil alih hak nya atas bbjek sengketa demi kepastian hukum dan penegakkan hukum,” ujar Ipung saat dikonfirmasi Rabu (17/12/2025).
Sengketa tanah di Pulau Serangan ini antara Ipung sebagai ahli waris melawan Walikota Denpasar, PT BTID, Lurah Serangan dan Desa Adat Serangan sebagai tergugat. Setelah para tergugat sebelumnya kalah di Pengadilan Denpasar pada 5 Agustus 2024, mereka mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Lagi-lagi para pemohon dinyatakan kalah. Ipung menjelaskan perkaranya dinyatakan menang setelah Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan “DITOLAK I, II, dan III”. Ini artinya semua permohonan kasasi para pihak ditolak atau dengan kata lain para pemohon kalah, semua permohonan kasasi para pemohon ditolak.
“Andai pun para pihak yang dikalahkan melakukan upaya hukum kembali yaitu Peninjauan Kembali (PK) itu tidak akan bisa menghalangi untuk dilaksanakannya eksekusi lahan. Hal ini tercantum di dalam Undang-Undang Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 1985 dimana di dalam Pasal 66 ayat (2) menegaskan: pengajuan PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk putusan yang serta merta dapat dieksekusi,” jelas Ipung.
Tak lupa Ipung juga memberikan apresiasi kepada Pemkot Denpasar yang sudah menjelaskan bahwa obyek sengketa melawan PT BTID tidak ada keterkaitan dengan Pemkot Denpasar. Sebab, jalan aspal yang dibangun secara hormix di atas obyek sengketa bukan menjadi fasilitas umum (Fasum).
Dan ternyata jalan aspal tersebut dibangun secara swadaya oleh PT BTID. Untuk itu dalam waktu dekat, Ipung berencana akan membongkar aspal hotmix agar lahan tersebut dikembalikan sebagaimana mestinya dan bukan jalan umum.
Kasus ini telah mencuat sejak tahun 2009 silam, ketika lahan dengan sertifikat Nomor 69 yang luasnya 94 are milik Maisarah digugat oleh 36 KK warga Kampung Bugis Serangan ke PN Denpasar. Begitu juga pipil tanah yang luasnya 1 hektare 12 are. Dalam gugatan tersebut, pihak Maisarah atau ibunda dari Siti Sapurah selalu menang hingga ke Mahkamah Agung.
Peninjauan Kembali (PK) juga ditolak. Atas putusan pengadilan yang mengikat ini, Ipung menunjukkan berbagai dokumen kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar, seperti 15 putusan pengadilan hingga tahun 2020, foto copy pipil tanah seluas 1 hektar 12 are dan pajak tanah seluas 2 hektare 18 are, serta foto peta tanah.
Sementara PT BTID hanya berpegang teguh pada SHGB Induk Nomor 41 Tahun 1993 atau HGB Nomor 81, 82, 83 atas nama PT BTID. Melalui hal ini diatur tentang jalan lingkar luar di Pulau Serangan dengan PT BTID sebagai pihak pertama dan Desa Adat Serangan sebagai pihak kedua. Jalan lingkar luar itu mulai dari pintu masuk Pulau Serangan melewati Pura Sakenan sampai Tanjung Inyah terus ke timur lalu ke utara sampai tempat Melasti dan berhenti di penangkaran penyu yang panjangnya 2.115 km.
“Bagaimana mungkin jalan lingkar luar ini melompat, melewati lahan orang lain. Dan mengenai HGB juga tidak bisa digunakan untuk selamanya karena itu sama dengan kontrak atau sewa,” tegas Ipung.
Seperti diketahui, ada sebidang tanah milik penggugat yang di-SHGB oleh PT.BTID selama 30 tahun sejak tanggal 23 Juni 1993 sampai 23 Juni 2023. Tanah tersebut diaspal hotmix oleh Jro Bendesa Desa Adat Serangan pada tahun 2014. Padahal saat itu lahan tersebut sedang menjadi objek sengketa antara 36 KK yaitu Drg. Moh. Taha dkk melawan Sarah yang merupakan ibu dari Ipung yang merupakan ahli waris dari Daeng Abdul Kadir (Alm).
Tanah tersebut berasal dari Pipil 186 Klass II Percil 15c tanah seluas 1,12 Ha milik Daeng Abdul Kadir berdasarkan Akta Jual Beli Nomor : 27/1957 yang dibeli pada tanggal 21 September 1957 dengan harga Rp. 4.500,- (Empat Ribu Lima Ratus Rupiah) yang dibeli dari Sikin yang merupakan ahli waris H. Abdurrahman mantan Kepala Desa Serangan dan di dalam akta jual beli sebagai saksi yang menandatangani saat itu adalah Kepala Desa Serangan yang bernama I Wayan Lunjing dan tanah tersebut juga dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 99/Pdt/1974 tertanggal 22 April 1975 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 238/P.T.D/1975/Pdt. Tertanggal 3 November 1975, Perkara dengan Nomor : 1161/Pdt.G/2023/PN Dps.
Sengketa tersebut akhirnya dimenangkan oleh Ipung sebagai pihak penggugat yang sekaligus ahli waris yang diputus pada tanggal 5 Agustus 2024. Pihak tergugat semuanya mengajukan banding atas putusan Perkara Aquo, dan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar di tingkat Banding dengan Nomor Perkara : 212/PDT/2024/PT DPS yang diputus pada tanggal 2 Oktober 2024 kembali dimenangkan oleh Ipung. Dalam amar putusan berbunyi Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri. Kemudian para tergugat melakukan upaya hukum di tingkat kasasi.
Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi dengan Nomor Perkara Kasasi : 3283 K/PDT/2025 diputus pada tanggal 16 Oktober 2025 yang kembali dimenangkan oleh Ipung yang Amarnya: Menolak Seluruh Permohonan Kasasi Pihak Pemohon Kasasi yakni PT.BTID, Walikota Denpasar, Lurah Serangan, Desa Adat Serangan. Adapun yang menjadi pertimbangan Hakim Majelis tingkat Kasasi adalah bahwa objek sengketa adalah milik termohon Kasasi dahulu Penggugat berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dilakukan eksekusi.
Usai putusan kasasi tersebut, Ipung mengaku akan segera mengajukan permohonan penetapan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Denpasar untuk mengambil alih hak nya atas objek sengketa demi kepastian hukum dan penegakkan hukum. Sekalipun para pihak masih melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) namun upaya ini tidak akan menghalangi upaya eksekusi yang akan dilakukan.
Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 1985 dimana didalam Pasal 66 ayat (2) yang menegaskan bahwa pengajuan PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk putusan yang serta merta dapat dieksekusi.
“Para pihak harus tunduk mematuhi UU MA RI. Kami juga meminta agar aparat penegak hukum bisa mengamankan isi putusan kasasi untuk melakukan eksekusi,” ujarnya. (*)

















