Balitopik.com – Juni datang tanpa gegap gempita. Nggak seperti bulan-bulan yang lain, yang sibuk dengan harapan besar dan target-target panjang. Juni datang dengan langkah ringan, langit sering abu-abu membawa sejuk yang pelan-pelan menyusup ke hati.
Dan di antara aroma tanah basah yang habis diguyur hujan, ada nama yang rindu terhadapnya tak pernah pudar: Sapardi.
Setiap kali Juni menyapa, nama Sapardi Djoko Damono seolah ikut hadir bersamanya. Penyair yang mengajarkan kita tentang cinta yang tak perlu dirayakan secara berlebihan, namun tetap terasa dalam.
Juni dan puisi Sapardi sama- sama mengingatkan kita bahwa cinta tak harus riuh. Kadang, yang paling tulus justru hadir dalam diam, yang tak diumumkan namun tetap tumbuh.
Puisi-puisinya tak pernah memaksa untuk dipahami. la cukup dibaca pelan-pelan, seperti menyesap hujan dari balik jendela. Di tengah dunia yang terus berlari, Sapardi dan bulan Juni memberi ruang untuk perlahan.
Puisi-puisinya mengajak kita kembali meresapi hal-hal kecil yang sering luput karena terlalu terburu-buru. Mungkin, yang kita butuhkan bukan sekadar waktu, tetapi kehadiran yang penuh. Satu puisi. Satu gerimis. Satu bulan Juni-dan Sapardi, untuk mengingatkan bahwa mencintai, bisa sesederhana itu.
Hujan Bulan Juni
Pertama kali terbit pada 1994, buku ini memuat puisi-puisi yang ditulis dengan bahasa yang sederhana, namun justru di situlah kekuatannya: Sapardi tak pernah berusaha mempersulit, ia justru membiarkan pembaca tenggelam pelan-pelan dalam kata-kata yang jujur dan tenang.
Puisi “Aku Ingin” dan “Hujan Bulan Juni” menjadi dua karya paling ikonik yang terus hidup dan dikutip di berbagai ruang. Lewat buku ini, Sapardi mengingatkan kita bahwa mencintai tak harus selalu dirayakan secara besar- besaran; kadang, yang paling tulus justru hadir tanpa suara.
Perihal Gendis
Buku ini memuat 15 puisi yang menggambarkan kehidupan seorang gadis bernama Gendis, yang hidup dalam kesepian akibat perpisahan orang tuanya. Dalam puisi-puisinya, Sapardi menggunakan bahasa yang sederhana namun sarat makna, menggambarkan dialog imajiner Gendis dengan alam sekitarnya, seperti kupu-kupu, mawar, dan burung.
Perihal Gendis tidak hanya menyajikan puisi, tetapi juga dilengkapi dengan ilustrasi abstrak berwarna-warni yang dibuat oleh Sapardi sendiri, menambah kedalaman dan nuansa pada setiap sajak.
Sunyi adalah Minuman Keras
Novel ini mengisahkan Rara, seorang penulis muda yang sibuk mempromosikan karyanya ke berbagai kota. Meskipun kehidupannya tampak penuh aktivitas, Rara merasakan kehampaan dan kesepian yang mendalam.
Melalui interaksi virtual dengan seseorang yang tak pernah ia temui secara langsung, Rara menemukan teman yang mampu mengisi kekosongan tersebut. Namun, ketika teman virtualnya tiba-tiba menghilang tanpa kabar, Rara kembali dihadapkan pada rasa sepi yang menyesakkan.
Sepasang Sepatu Tua
Buku ini memuat 19 cerita pendek yang sebagian besar pernah dipublikasikan sebelumnya, namun disusun ulang untuk memberikan pengalaman membaca yang baru. Sapardi menampilkan gaya khasnya dengan menghidupkan benda-benda mati sebagai tokoh utama, seperti sepatu, dan prajurit kertas.
Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Sepasang Sepatu Tua menawarkan pengalaman membaca yang mendalam dan mengajak pembaca untuk melihat kehidupan dari perspektif yang berbeda.
Segi Tiga
Dalam novel ini, Sapardi mengisahkan kompleksitas cinta pertama melalui narasi yang unik dan penuh makna. Cerita ini dibingkai oleh sosok “Juru Dongeng”, narator misterius yang merangkai kisah cinta yang tak biasa, membuat pembaca mempertanyakan realitas dan fiksi dalam hubungan manusia.
Dengan gaya bahasa khasnya yang puitis dan reflektif, Sapardi mengajak pembaca merenungkan makna cinta, identitas, dan peran narasi dalam kehidupan.
Alih Wahana
Alih Wahana adalah karya esai kritis dari Sapardi Djoko Damono yang membahas proses transformasi karya sastra ke dalam berbagai medium seni lain, seperti film, musik, teater, dan komik. Buku ini mengupas konsep “alih wahana”- yakni perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain-dengan pendekatan yang reflektif dan penuh wawasan.
Melalui bab-bab seperti “Ekranisasi”, “Satu Sumber Beberapa Film”, dan “Pementasan sebagai Alih Wahana”, Sapardi menyoroti bagaimana karya sastra mengalami adaptasi ke bentuk lain, serta tantangan dan peluang yang muncul dalam proses tersebut.
Tirani Demokrasi
Dalam buku setebal 146 halaman ini, Sapardi mengajak pembaca untuk merenungkan kembali makna demokrasi yang sering kali hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan. la menyoroti bagaimana demokrasi dapat disalahgunakan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sementara rakyat sering kali menjadi korban dari praktik tersebut.
Melalui gaya bahasa yang lugas dan reflektif, Sapardi menyampaikan kritiknya tanpa mengurangi kedalaman substa- nsi yang ingin disampaikan. (*)