Balitopik.com, DENPASAR – Bro Shalah menyoroti sistem penerimaan murid baru (SPMB) tahun 2025 di Bali. Secara khusus calon murid baru SMP Negeri di seluruh Bali, terbukti ada ribuan murid gagal mendapatkan sekolah pilihannya entah karena kuota atau yang parahnya lagi hanya karena sistem.
Di Kota Denpasar saja, berdasarkan data rekap ajuan pendaftaran gabungan jalur domisili umum di Posko SPMB Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Kota Denpasar pada hari terakhir pendaftaran, jumlah berkas yang diajukan sebanyak 7.537. Dari jumlah itu, 4.704 berkas diverifikasi, sedangkan sebanyak 2.833 berkas ditolak. padahal kuota SMP Negeri di Denpasar 5.880.
Murid-murid yang ditolak tersebut disarankan mencari sekolah swasta. Kendati demikian mayoritas orang tua murid lulusan SMP tahun ini mengutamakan anaknya bersekolah di SMP negeri karena alasan biaya terjangkau.
“Melempar anak ke sekolah swasta bukan solusi, tapi bentuk ketidakadilan pendidikan. Harusnya pemimpin daerah dan dinas pendidikan jeli dan kuat terkait data demografi. Kebutuhan pendidikan anak bisa dilihat dari jumlah kelulusan sekolah di setiap tingkatan,” kata politisi muda yang juga adalah Wakil Ketua Tim Pemenangan Koster-Giri ini di Denpasar, Kamis (17/7/2025).
Ia menilai pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun kota, gagal memenuhi hak dasar warga negara dalam memperoleh pendidikan, terutama bagi siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah manapun melalui jalur resmi.
“Jangan sampai terjadi hal serupa dan dibiarkan terus menerus. Kalau bupati dan walikotanya tidak mampu, lebih baik mundur. Harusnya punya wajah malu karena tidak bisa entaskan kebutuhan dasar masyarakatnya,” tegasnya.
Menurutnya, setiap tahun gelombang keluhan dari orang tua dan siswa selalu muncul akibat terbatasnya daya tampung sekolah negeri. Namun, tidak ada langkah konkret dari pemerintah daerah untuk membangun sekolah baru atau memperluas fasilitas pendidikan yang sudah ada.
Bro Shalah menilai, persoalan ini bukan sekadar teknis, melainkan kegagalan perencanaan demografis yang seharusnya bisa diantisipasi sejak jauh hari. Ia menyayangkan minimnya keberpihakan pemerintah pada sektor pendidikan, yang seharusnya menjadi prioritas utama.
“Kalau anak-anak kita tidak bisa sekolah karena tak ada tempat, maka sistemnya sudah salah total. Ini bukan semata soal PPDB, tapi soal tanggung jawab negara yang diabaikan,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Bali segera melakukan audit kebutuhan sekolah berbasis data kependudukan, serta menyusun rencana pembangunan sekolah baru di wilayah-wilayah padat penduduk.
“Kita bicara soal masa depan Bali. Kalau pemerintah masih menganggap pendidikan bukan prioritas, itu artinya mereka tidak layak memimpin,” tambah pengurus HIPMI Bali ini.
Ia menambahkan, bahwa meskipun pemerintah Kota Denpasar memiliki kebijakan memberikan insentif Rp 1,5 juta bagi siswa yang mendaftar di sekolah swasta bukanlah sebuah solusi yang tepat karena orang tua akan tetap terbebani dengan biaya SPP.
“Itu masih bukan solusi. Karena orang tua siswa yang anaknya terpaksa masuk di sekolah swasta terbebani uang SPP,” tandas Ketua DPW PBB Bali tersebut. (*)