Penulis: Kristiana Aurel Alua
Balitopik.com – Ada luka yang tidak tertulis di kartu keluarga, luka yang juga tidak dikenali oleh hukum, tak tampak oleh kamera, tapi menempel kuat dalam napas dan tubuh manusia. Bukan luka fisik yang bisa dijahit oleh dokter, tapi luka yang menjalar lewat bisikan antar generasi.
Luka itu diwariskan bukan lewat DNA, tapi lewat pola diam, pola tunduk, dan pola menahan. Luka yang hadir lewat cara mencintai searah yang tak pernah bertanya balik, “Bagaimana dengan aku?” Luka yang kemudian hadir dalam cara hidup yang terus melayani, bahkan saat tubuh memohon istirahat.
Luka itu diam, tapi terus hidup. Ia menetap dari Rahim ke rahim, di tulang belakang, di dada yang sesak tapi tetap tegak. Ia bergerak dari leluhur ke garis perempuan dalam keluarga, bukan sebagai pilihan, tapi sebagai warisan budaya yang tak pernah ditanya setuju atau tidak untuk memiliki nya.
Di tanah Manggarai, Papua, dan berbagai wilayah Indonesia Timur, perempuan dikenal kuat. Tapi kekuatan mereka bukan hasil pelatihan atau pilihan bebas. Itu adalah bentuk bertahan hidup dalam sistem yang tak memberi ruang untuk rapuh, modernnya perempuan timur sering kali hidup dalam survival mode kondisi dimana perempuan sulit diberikan ruang untuk rilex dan menikmati hidup.
Para perempuan itu menyusui dengan airmata yang disembunyikan, memasak dengan tubuh lelah yang terus dipaksa tegak, dan terus melayani meski hatinya sendiri kosong.
Mereka tentunya tidak diajari berkata “tidak,” juga tidak diajari memilih dirinya sendiri.
Mereka tak pernah diberi izin untuk merasa cukup hanya dengan menjadi manusia.

Dalam tradisi yang mengagungkan pengabdian perempuan tanpa syarat, kata “Aku lelah” dianggap kelemahan. “Tidak bisa” dianggap pembangkangan. “Boleh aku sendiri dulu?” dianggap keterlaluan.
Kemudian, tradisi juga menganggap bahwa perempuan yang bicara terlalu banyak disebut keras kepala. Perempuan yang menangis disebut manja. Dan perempuan yang memilih dirinyas sendiri disebut egois.Namun, Perempuan yang diam… itulah yang paling diterima. Dan dalam diam itu, luka tinggal.
Tubuh mulai bicara saat jiwa dibungkam terlalu lama. Nyeri tanpa sebab medis, lelah yang tak bisa diobati dengan tidur, gangguan hormon, autoimun, miom, tumor, hingga kanker, semuanya kadang punya akar yang jauh lebih dalam dari sekadar biologi. Mereka adalah suara tubuh yang menjerit karena terlalu lama tidak didengar.
Karena tubuh menyimpan ketakutan yang tidak boleh diucap – kemarahan yang ditekan demi sopan santun – kesedihan yang dikubur agar tidak dianggap lemah.
Semua itu menjadi luka diam yang berakar dalam. Dan akar itu tumbuh, melingkari kehidupan generasi berikutnya. Perempuan menjadi saksi dan pewaris luka yang bukan miliknya.
Tapi zaman bergeser, dan kesadaran mulai tumbuh dari tubuh-tubuh yang kelelahan. Disitulah hadir perempuan-perempuan yang bangun, yang mulai bertanya “Kenapa aku harus terus diam?”, “Mengapa aku harus mengulang luka yang bukan milikku?” dan “Apakah benar menjadi perempuan berarti harus kehilangan diri sendiri?”
Mereka bukan pemberontak. Mereka adalah penjaga gerbang penyembuhan. Perempuan yang mulai memberi ruang bagi air mata, bagi rasa marah, dan bagi istirahat.
Yang mulai memeluk dirinya dengan hangat yang dulu tidak pernah diberikan oleh ibunya, neneknya, atau garis keturunan dan leluhur perempuannya.
Mereka yang berkata, “Aku juga penting. Aku juga pantas dimengerti.”
Cinta, mereka pelajari ulang.
Bahwa cinta bukan hanya memberi, tapi juga menjaga batas.
Bahwa merawat diri sendiri bukan dosa, tapi tanggung jawab.
Bahwa menjadi perempuan bukan berarti menghilangkan identitas dan keinginan.
Dan mungkin, hanya mungkin, di tangan-tangan perempuan yang sadar ini, luka yang diwariskan turun-temurun bisa berhenti.
Bukan karena mereka lebih kuat, tapi karena mereka lebih sadar.
Kesadaran itulah awal penyembuhan.
Kesadaran untuk berkata:
“Cukup.”
“Aku layak dicintai.”
“Aku layak dihargai tanpa harus kehilangan diriku sendiri.”
Mereka adalah titik balik. Mereka adalah mata rantai yang berkata:
“Sampai sini saja. Luka ini tidak akan kuteruskan.”
Dan dengan keberanian itu, garis keturunan perempuan bisa bernapas lega untuk pertama kalinya. (*)