Penulis: David Ashari Kusmayadi – Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung Anggota Muda Perkumpulan Ilmuwan Administrasi Negara Indonesia
OPINI – Apakah demokrasi kita sungguh hidup, atau sekadar bernapas tipis-tipis di bawah tekanan? Gelombang protes yang mengalir sejak 25 Februari, dari kritik tajam soal tunjangan hingga kemarahan atas kekerasan apparat, lebih dari sekadar ledakan emosi.
Ini adalah peringatan struktural: ketika publik melihat anggota parlemen menikmati tunjangan dan take home pay yang menurut catatan Perupadata bisa mencapai Rp230 juta per anggota, sementara banyak warga menjerit atas recana kenaikan pajak pedagang eceran, biaya hidup dan rencana penyesuaian iuran layanan kesehatan, jurang antara kenyamanan elit dan penderitaan rakyat menjadi nyata dan terukur.
Jika elit masih meremehkan riak ini sebagai “kehebohan,” mereka mengabaikan fakta bahwa akumulasi rasa tidak adil jarang berhenti pada protes permukaan, ia mencari jalan agar didengar sampai janji diwujudkan.
Ketika Realitas Menjadi Bom Waktu
Dalam bingkai Agenda-Setting menurut Noelle-Neumann (1991), ada tiga dimensi yang berinteraksi. Dimensi pertama adalah Agenda Realitas, yaitu kejadian nyata yang terjadi di lapangan. Dan realitas yang kita saksikan hari ini sungguh mengerikan, seperti sebuah sejarah yang berulang.
Negara harus ingat: Revolusi Prancis tidak dimulai dari keinginan rakyat untuk berperang, melainkan dari penderitaan yang tak tertahankan. Raja dan Ratu, Louis dan Marie Antoinette, hidup dalam kemewahan, mandi susu dan makan makanan mewah, sementara rakyatnya mati kelaparan. Situasi itu persis seperti sekarang.
Rakyat harus berjibaku dengan kenaikan PBB yang melambung hingga 100 persen di sejumlah daerah, sementara para wakilnya justru menerima deretan penghargaan bintang dari negara. Belum lagi kekhawatiran publik tentang rencana kenaikan iuran BPJS pada 2026 yang akan menambah beban hidup.
Jurang antara mereka yang menanggung beban dan mereka yang menikmati hasil sudah terlalu lebar. Realitas lapangan ini tidak sekadar soal angka atau berita; ia adalah kombinasi tekanan ekonomi yang menjerat, ketidaksetaraan simbolik yang dipertontonkan, dan kekerasan yang dialami warga sehari-hari.
Jika dulu rakyat mati di penjara Bastille karena kebijakan raja, kini kekerasan itu terjadi di jalanan. Seorang pengemudi ojek online kehilangan nyawa di tangan aparat. Dan ini bukan kejadian tunggal.
Kekerasan serupa berulang kali terjadi, menambah luka yang sudah menganga. Betapa kontrasnya: rakyat kesulitan membeli obat cacingan untuk anaknya, sementara para wakilnya hidup dalam kelimpahan. Sinyal ini jelas: batas toleransi rakyat telah dilampaui, dan narasi “keamanan publik” yang digunakan untuk membenarkan tindakan keras negara perlu ditelaah ulang.
Agenda Media: Pengalih Perhatian dari Amarah
Peran media dalam konteks ini perlu dijelaskan secara lebih spesifik: yang dimaksud bukan hanya koran besar atau stasiun televisi, melainkan keseluruhan ekosistem komunikasi publik, akun resmi lembaga negara, kanal partai politik, influencer yang punya jutaan pengikut, dan ratusan ribu akun pribadi di platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Semua saluran ini ikut menata apa yang menjadi “topik” di ruang publik.
Dalam kondisi demikian, teori spiral of silence mengingatkan bahwa orang yang merasa suaranya minoritas akan cenderung bungkam karena takut terasing; sebuah narasi yang konsisten diulang oleh media tertentu membuat persepsi mayoritas tampak dominan sehingga pluralitas pendapat menyusut. Ketika pluralitas menyusut, ruang untuk kritik yang terukur dan bernas pun mengecil, dan kesempatan bagi pihak-pihak yang ingin mengarahkan opini publik menjadi semakin terbuka.
Lebih buruk lagi, momentum publik sering kali menjadi ladang subur bagi aktor oportunistis. Ada kalanya rangkaian kejadian, dari konflik lokal sampai insiden kecil di lapangan, dioptimalkan oleh oknum yang sengaja menyusupkan provokasi. Tujuannya terang: menciptakan alasan legitimasi untuk tindakan represif, menstigmatisasi demonstran, dan mengalihkan perhatian dari tuntutan substantif.
Kajian parapolitik memberi gambaran bagaimana taktik false flag beroperasi sebagai spektakel politik: peristiwa yang direkayasa atau dilebih-lebihkan agar bisa dipresentasikan sebagai ancaman nyata, sehingga intervensi keras tampak beralasan. Karena itu, menuduh demonstrasi “gagal” terlalu menyederhanakan masalah; lebih tepat mengatakan bahwa aksi-aksi itu kerap dioptimalkan oleh pihak tertentu demi agenda yang berbeda.
Melawan Tanpa Menghancurkan: Aksi Sipil Abad ke-21
Agar tuntutan publik tidak tergadaikan oleh manuver semacam itu, pendekatannya harus sistemik. Tuntutan mesti diformulasikan secara konkret dan terukur oleh kelompok substantif— akademisi, organisasi independen nonpemerintah, serta organisasi mahasiswa intra maupun ekstra kampus yang didiskusikan bersama para pakar, sehingga klaim publik bukan sekadar emosi tetapi dilandasi data, indikator keberhasilan, dan bobot hukum yang jelas.
Sementara itu, manajemen teknis aksi harus diorganisasi untuk meminimalisir risiko: rute yang ditata, protokol keselamatan, jaringan komunikasi internal yang tahan gangguan, serta tim dokumentasi dan hukum yang siap merekam setiap pelanggaran dan menindaklanjutinya secara formal. Pemantauan media sosial secara real-time dan kanal pengaduan terverifikasi harus menjadi bagian dari strategi untuk mendeteksi dan menyingkap keberadaan provokator atau narasi palsu sebelum ia tumbuh menjadi justifikasi tindakan represif.
Konsep co-driving yang menjadi penelitian Li et al., (2024) memberikan kerangka untuk mengintegrasikan semua elemen ini. Dalam studi tentang interaksi manusia-mesin pada kendaraan otonom dijelaskan bahwa keselamatan optimal tercapai ketika ada siklus terus-menerus: kesadaran situasional, pengambilan keputusan berbasis informasi, dan eksekusi kontrol yang terkoordinasi dan ketiga fase itu harus berulang serta tervalidasi.
Prinsip yang sama berlaku untuk aksi kolektif: publik harus memiliki mekanisme monitoring yang jelas (situational awareness), aturan keputusan bersama yang berbasis bukti (decision-making), dan kapabilitas lapangan yang terlatih untuk mengeksekusi aksi tanpa terpancing provokasi (control execution). Dengan kata lain, demokrasi yang sehat membutuhkan praktik co-driving: rakyat sebagai pengemudi bersama yang waspada, terorganisir, dan berorientasi hasil.
Intinya bukan mengekang kemarahan rakyat; justru aksi adalah instrumen—melawan, bukan menjarah; mencari jalan baru, bukan kembali ke Orde Baru. Merusak fasilitas publik hanya akan menambah beban rakyat sendiri: bukankah lebih masuk akal bila anggaran yang ada dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan perumahan, bukan untuk memperbaiki kerusakan yang seharusnya tidak terjadi? Pembangkangan sipil sah ketika mekanisme demokrasi lain tidak berjalan, tetapi keberhasilannya bergantung pada kecerdasan strategi, kejelasan tuntutan, dan kapasitas publik untuk menjaga momentum agar tidak diambil-alih oleh kepentingan lain.
Kemarahan rakyat adalah sinyal, bukan sekadar ledakan emosi. Jika elit dan arus media tetap menganggapnya sekadar riak, sejarah yang pernah memberi peringatan akan berulang. Solusi ada dalam kemampuan kolektif untuk mengklasifikasikan isu, mengawal substansi, dan memantau teknis, bukan sebagai aksi sekali lalu, melainkan praktik berulang yang mengukuhkan rakyat sebagai arsitek dan validator agenda publik.
Demokrasi yang hidup bukan soal siapa paling berteriak di jalan, melainkan siapa mampu mengubah kemarahan itu menjadi keputusan kebijakan yang nyata dan berkelanjutan. (*)