Balitopik.com, DENPASAR – Gelombang disrupsi digital kini semakin tak terbendung dan mulai menggoyahkan sendi-sendi hukum nasional.
Mulai dari skandal investasi robot trading yang merugikan ribuan nasabah hingga ancaman misinformasi deepfake menjelang tahun politik, semuanya menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia sedang menghadapi krisis relevansi.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta KUHP yang ada saat ini dinilai semakin kewalahan menghadapi karakter otonom dari Kecerdasan Buatan (AI).
Di tengah kebuntuan regulasi inilah sebuah terobosan pemikiran hukum lahir dari lingkungan akademis Universitas Udayana.
Efatha Filomeno Borromeu Duarte, akademisi yang baru saja menyelesaikan gelar Doktor Ilmu Hukum, menawarkan sebuah peta jalan baru melalui disertasinya yang berjudul “Hakekat Pengaturan Robot dan Kecerdasan Buatan di Indonesia”.
Efatha tidak sekadar mengkritik melainkan menyodorkan sebuah konstruksi hukum orisinal yang ia sebut sebagai “Tanggung Jawab Berjenjang” (Tiered Liability).
Mengakhiri Era Hukum ‘Pemadam Kebakaran
”Posisi hukum kita saat ini seperti pemadam kebakaran karena baru sibuk bekerja setelah apinya membesar dan memakan korban,” ujar Efatha ditemui media di Denpasar, Senin (15/12/2025).
Kader Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Bali ini merujuk pada kasus penipuan Robot Trading seperti Net89 atau DNA Pro serta diskriminasi algoritma pinjaman online sebagai bukti nyata kegagalan hukum.
Dalam kasus-kasus tersebut, pengembang teknologi kerap lolos dari jerat hukum maksimal dengan berlindung di balik dalih kesalahan sistem atau risiko pasar dan meninggalkan korban tanpa ganti rugi yang memadai.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan pergeseran paradigma dari hukum yang reaktif menjadi hukum yang responsif berbasis risiko.
Temuan Ilmiah: Klasifikasi Risiko sebagai Kunci Keadilan
Sebagai kebaruan atau novelty utama dalam penelitiannya, Efatha merinci konsep Tiered Liability yang membagi beban hukum pengembang AI ke dalam tiga strata tegas. Solusi ini dirancang untuk menutup celah kekosongan hukum yang selama ini dimanfaatkan korporasi teknologi.
Pertama adalah teknologi Risiko Tinggi (High Risk). Ini mencakup sistem yang menyangkut keselamatan nyawa atau stabilitas finansial masif seperti kendaraan otonom dan robot bedah. Untuk kategori ini, Efatha menerapkan doktrin Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability).
”Tidak ada ruang untuk berdebat soal niat atau kelalaian di level ini. Jika mobil otonom menabrak atau robot trading menguras dana nasabah akibat gagal sistem, pengembang wajib ganti rugi secara mutlak. Beban risiko harus ditarik sepenuhnya ke pundak pencipta teknologi dan bukan pengguna,” tegasnya.
Kedua, yang paling krusial untuk konteks demokrasi saat ini, adalah penanganan teknologi Risiko Sedang (Medium Risk). Kategori ini meliputi algoritma media sosial, deepfake, atau sistem penilaian kredit perbankan.
Efatha memperkenalkan prinsip Praduga Bersalah (Presumed Liability). Dalam konsep ini terjadi pembalikan beban pembuktian.
Jika seorang warga merasa dirugikan oleh deepfake atau didiskriminasi oleh sistem kredit bank, hukum harus berpihak pada korban. Korporasi pemilik algoritma wajib membuktikan di pengadilan bahwa sistem mereka bersih dan memiliki filter pengaman yang memadai.
“Rakyat kecil tidak memiliki sumber daya untuk membongkar kerumitan algoritma. Konsep ini adalah wujud kehadiran negara untuk menyeimbangkan posisi tawar masyarakat di hadapan raksasa teknologi,” tambah Efatha.
Sementara untuk teknologi Risiko Rendah (Low Risk) seperti chatbot layanan pelanggan, hukum kelalaian standar tetap berlaku.
Visi Kedaulatan Digital: PARADIXIA
Lebih jauh lagi, Efatha menjelaskan bahwa mekanisme teknis ini berakar pada teori hukum besar yang ia bangun yakni PARADIXIA (Pancasila Reflective Algorithmic and Digital Jurisprudence).
Teori ini menempatkan Pancasila bukan sekadar sebagai simbol negara melainkan sebagai filter epistemologis. Di era saat data menjadi komoditas paling berharga, Efatha menekankan bahwa Indonesia harus memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur algoritma asing yang beroperasi di wilayah siber Nusantara.
”Kita tidak boleh sekadar menjadi pasar. Dengan mengadopsi konsep Tanggung Jawab Berjenjang ke dalam undang-undang spesifik atau Lex Specialis, Indonesia mengirim pesan tegas bahwa kami terbuka pada inovasi tetapi tidak berkompromi pada perlindungan martabat manusia,” pungkasnya.
Disertasi dan temuan Efatha ini diharapkan menjadi referensi primer bagi DPR RI dan Pemerintah dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Kecerdasan Buatan di masa mendatang. (*)

















