Balitopik.com, BALI — Koalisi Pergerakan Untuk Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan Bali (PULIHKAN BALI) berencana mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) melalui mekanisme gugatan warga negara (Citizen Lawsuit), yang didahului dengan penyerahan notifikasi/pemberitahuan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah selaku calon Tergugat.
Tim Hukum PULIHKAN Bali, Ignatius Radite, mengatakan rencana gugatan itu mengacu pada gagalnya pemerintah pusat dan daerah dalam menanggulangi bencana banjir di Bali yang terjadi pada bulan September 2025 di mana telah menciptakan kerugian ekologis, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat, serta mengakibatkan korban jiwa.
“Koalisi menilai bahwa peristiwa banjir besar di Bali tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang sebagai dampak dari curah hujan tinggi saja, melainkan perlu dilihat sebagai problem struktural, mengingat terdapat temuan-temuan mengenai alih fungsi lahan, tata guna infrastruktur, manajemen bencana, dan pengelolaan sampah yang semuanya bersumber dari tata kelola hingga kebijakan Pemerintah Daerah dan Pusat,” ucap Radit di Denpasar, Rabu (12/11/2025).
Adapun instansi pemerintah yang dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya banjir Bali, serta hendak digugat oleh Koalisi adalah sebagai berikut:
- Presiden Republik Indonesia
- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
- Menteri Keuangan Republik Indonesia
- Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia
- Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
- Menteri Kehutanan Republik Indonesia
- Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia
- Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia
- Gubernur Provinsi Bali
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali
- Walikota Denpasar
- Bupati Badung
- Bupati Gianyar
- Bupati Tabanan
Radit menjelaskan, pengiriman notifikasi/pemberitahuan sebelum pengajuan gugatan juga ditempuh sebagai bentuk keprihatinan dan tuntutan pertanggungjawaban atas berulangnya bencana banjir di berbagai wilayah di Bali, yang dinilai merupakan akibat dari kelalaian pemerintah dalam pengelolaan tata ruang, sistem drainase, daerah aliran sungai (DAS), penyediaan sistem peringatan dan penanggulangan bencana, serta pengawasan lingkungan hidup.
Puncaknya, bencana banjir yang melanda Bali pada 9 – 10 September 2025 menyebabkan 18 korban jiwa dan ratusan lainnya terdampak. Tidak dapat dipungkiri bahwa curah hujan ekstrem menjadi salah satu akar permasalahan bencana banjir yang terjadi. Tercatat selama dua hari tersebut, curah hujan di Bali mencapai 50-150 mm, bahkan di beberapa wilayah tercatat hingga 385 mm.
Akan tetapi besarnya dampak dan kerusakan yang terjadi diperparah dengan berbagai faktor, yang kemudian menjadi tuntutan dasar koalisi: Pertama harus diperhatikan adalah laju perubahan lahan, Bali kehilangan 6.522 hektare sawah antara tahun 2019-2024, atau rata-rata 1.087 hektar per tahun.
Hal ini didorong oleh pembangunan eksplosif pasca pandemi, termasuk pertumbuhan sektor digital nomad dan investasi properti asing yang melonjak 92% di Badung dan 81% di Denpasar. Namun masifnya perubahan lahan ini sesungguhnya telah berlangsung lama, salah satunya bisa dilihat dari citra satelit pada periode 2010-2015 dimana lahan terbangun di kawasan Sarbagita meningkat 501%. Tidak hanya itu, yang lebih parah adalah hilangnya kawasan hutan, salah satunya hutan di kawasan DAS Ayung yang hanya tersisa ±1.500 hektare (3%).
Masalah diperparah oleh defisit ruang terbuka hijau (RTH). Menurut undang-undang, kota harusnya memiliki RTH minimal 30%. Namun kota Denpasar hanya memiliki RTH publik kurang lebih 405 hektar, atau 3.2%. Hal ini juga berdampak pada operasi dan pemeliharaan drainase, akibat minimnya RTH dan pengendali limpasan seperti sumur resapan, terjadi backlog dan pendangkalan pada sistem drainase saat curah hujan tinggi. Ditambah banyak sempadan sungai yang harusnya 10-30 m, kini menjadi kawasan terbangun.
Beban tinggi terhadap drainase ini diperparah dengan pengelolaan sampah yang tidak tegas. Timbulan sampah meningkat dari 800 ribu ton (2019) menjadi lebih dari 1,2 juta ton (2024), sementara 52% tidak tertangani. Sekitar 33 ribu ton sampah diperkirakan masuk ke perairan Bali setiap tahunnya. Belum lagi mayoritas sampah terkelola hanya berakhir di TPA dengan pola open dumping.
Dengan resiko bencana yang begitu tinggi, fasilitas kebencanaan di ruang publik justru terbatas. Sebagai contoh petunjuk jalur evakuasi yang minim di sekitar pemukiman Tukad Badung dan pusat perekonomian seperti Pasar Badung dan Kumbasari. Belumlagi desain bangunan yang tidak memungkinkan evakuasi terjadi cepat, contohnya pasar kumbasari dengan teralis besi dan tidak adanya petunjuk evakuasi menuju tangga darurat. Hal ini berakibat pada jatuhnya korban jiwa dari pedagang Pasar Kumbasari yang terseret banjir.
Dalam notifikasi CLS tersebut, Koalisi Pulihkan Bali menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban hukum dan moral untuk melindungi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan aman sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Koalisi memberikan waktu selama 60 hari kepada pemerintah untuk menanggapi dan mengambil langkah konkret. Oleh karena itu, atas sejumlah kerugian baik materiil dan immateriil, maka Koalisi Pergerakan Untuk Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan Bali (PULIHKAN BALI) menuntut:
- Melakukan moratorium perizinan berusaha untuk investasi dan/atau proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup dan keselamatan ekosistem di wilayah Provinsi Bali;
- Pada masa moratorium, pemerintah wajib menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) bagi Kawasan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA) yang sesuai dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) untuk dijadikan sebagai acuan dalam melakukan audit pembangunan dan pedoman untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Kawasan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA) yang memiliki daya tahan atas perubahan iklim (climate resilience);
- Melakukan tindakan korektif terhadap kebijakan dan praktik yang berkontribusi pada terjadinya bencana terkait iklim, untuk mewujudkan pengelolaan tata ruang yang adil, pengembangan infrastruktur perkotaan yang ramah iklim dan responsif terhadap bencana, pengelolaan persampahan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, partisipatif dan inklusif di Kawasan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA) Provinsi Bali;
- Menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Keadilan Iklim yang mengatur sekurang-kurangnya perihal mitigasi, adaptasi dan kompensasi dari kehilangan dan kerusakan yang disebabkan oleh krisis iklim;
- Menjalin dialog bermakna dengan warga dan Tim Advokasi PULIHKAN Bali untuk mencari penyelesaian administratif sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Denpasar.
“Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada tanggapan memadai, warga berencana untuk mendaftarkan gugatan Citizen Lawsuit ke Pengadilan Negeri Denpasar sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Penyerahan notifikasi ini menjadi momentum penting untuk mendorong akuntabilitas pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan ekologi dan keselamatan warga sekaligus menjadi pengingat bahwa hak atas lingkungan yang sehat adalah bagian dari hak asasi manusia,” tandasnya.

















