Balitopik.com – Warga dari Poco Leok, Ulumbu, Wae Sano Mataloko, Sokoria, Lesugolo, Atadei, dan semua wilayah yang kini diincar proyek geothermal, menolak dengan tegas segala bentuk kelicikan negara yang berupaya menutupi kekerasan eksploitasi energi dengan bahasa-bahasa teknokratis.
Pernyataan Gubernur NTT Melki Laka Lena bahwa proyek ini akan “ditinjau kembali” adalah manuver untuk mengalihkan perhatian publik dari fakta utama bahwa proyek ini telah ditolak oleh rakyat.
Warga Flores dan Lembata yang kini dikepung proyek geothermal, menolak dengan tegas karena tanah yang hendak dibor bukanlah lahan kosong, melainkan tubuh hidup tempat kami berpijak, bertani, berdoa, dan mewariskan kehidupan. Proyek ini mengancam sumber air, mencemari udara, dan merusak tempat-tempat sakral yang menjadi pusat iman dan kebudayaan kami.
Di wilayah lain yang telah lebih dulu menjadi lokasi proyek serupa, kami melihat bukti nyata: tanah ambles, penyakit muncul, dan ruang pangan hilang—sementara keselamatan dan suara kami diabaikan.
Atas nama energi terbarukan, kami dipaksa menyerahkan segalanya tanpa jaminan perlindungan, tanpa ruang bicara, dan tanpa penghormatan terhadap martabat kami sebagai penjaga tanah ini secara turun-temurun.
Di Wae Sano, bahkan Bank Dunia menarik diri dari pendanaan setelah berbagai penolakan. Di Poco Leok, proyek perluasan PLTP Ulumbu yang didanai Bank Pembangunan Jerman (KfW) telah diaudit secara independen.
Hasilnya jelas: banyak pelanggaran terjadi terhadap hak-hak ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik masyarakat, termasuk pelanggaran atas berbagai regulasi investasi dan prinsip pembangunan berkelanjutan. Artinya, bukan hanya kami yang bersuara—lembaga internasional pun mengakui bahwa proyek-proyek ini cacat sejak awal.
Maka Melki tak perlu sibuk membentuk tim khusus untuk uji petik atau survei teknis yang pura-pura netral. Ruang hidup kami bukan kertas kosong yang bisa dirancang sesuka hati dari meja birokrasi atau ruang rapat kementerian.
Kami juga menolak keras narasi bahwa ada “pro dan kontra”. Tidak ada keraguan di sini: kami diusir, dibungkam, diancam, dipukul, dilaporkan ke Polisi, dan sejak awal tidak pernah dilibatkan secara bermakna.
Gubernur Melki bahkan menyebut WALHI NTT seolah-olah mewakili suara kami. Itu manipulatif. Kami menghormati kerja WALHI sebagai organisasi lingkungan dan selama ini bersama kami. Tetapi keterlibatan mereka bukan utusan komunitas, bukan delegasi rakyat korban.
Keterlibatan mereka tidak bisa digunakan untuk melegitimasi proyek ini atau dianggap sebagai bukti bahwa partisipasi masyarakat telah terpenuhi. Jangan geser kenyataan. Yang punya tanah, yang akan kehilangan sumber air, yang akan terpapar racun dan ledakan, adalah kami, bukan para pejabat dan teknokrat.
Kami juga mengecam keras ajakan gubernur agar kami tidak melakukan aksi atau unjuk rasa. Itu penghinaan. Ketika kami bicara, kami disebut memprovokasi. Ketika kami berdoa dan menjaga tanah, kami dicurigai. Ketika kami bertahan, kami dikriminalisasi. Apakah ini yang disebut pembangunan? Kami tidak butuh transisi energi yang menghancurkan hidup kami.
Kami tahu siapa yang diuntungkan dari proyek ini: korporasi energi, para investor, dan pejabat yang menumpang nama “energi hijau”. Sementara kami kehilangan kampung, kebun, hutan, mata air, ruang sakral dan situs adat, singkatnya masa depan kami. Ini bukan soal energi bersih, ini soal penjajahan gaya baru atas nama lingkungan.
Kami menuntut:
- Hentikan segera seluruh kegiatan eksplorasi dan proyek geothermal di Pulau Flores dan Lembata.
- Batalkan seluruh izin dan rencana pengembangan panas bumi yang sudah dikeluarkan.
- Tolak semua bentuk keterlibatan palsu yang menjadikan lembaga atau pihak luar sebagai pengganti suara rakyat.
- Hormati hak kami atas tanah, air, dan kehidupan yang diwariskan leluhur.
Kami tidak akan diam. Tanah ini bukan warisan negara, bukan milik perusahaan. Ini tanah kehidupan kami. Dan kami akan menjaganya sampai akhir. (Rls)