Penulis: Yoh. Sandriano N. Hitang
Balitopik.com – Di suatu desa kecil di Flores, seorang warga bercerita bahwa satu-satunya cara ia “bertemu” dengan calon Gubernur/Bupati adalah melalui baliho yang dipajang di pinggir jalan atau foto-foto di media sosial yang ditunjukkan anaknya. Tapi saat pilkada langsung datang, ia merasa suaranya menentukan arah pembangunan. Meski sederhana, pengalaman itu memperlihatkan betapa pemilu langsung telah menjadi medium perjumpaan rakyat dengan kekuasaan – sekaligus kanal artikulasi kehendak warga dalam demokrasi lokal.
Saat ini, wacana pemilihan kepala daerah secara tak langsung kembali menguat. DPR RI dan sejumlah elite politik menyuarakan bahwa pemilihan oleh DPRD dinilai lebih hemat biaya dan dapat menekan polarisasi, atau bahkan menciptakan stabilitas. Namun, apakah efisiensi itu sebanding dengan harga yang harus dibayar dari putusnya hubungan langsung antara rakyat dan pemimpinnya?
Pertanyaan ini penting diajukan karena menyangkut arah dan masa depan demokrasi lokal di Indonesia. Sistem pemilu tidak hanya perkara prosedur elektoral, tetapi menentukan bagaimana prinsip kedaulatan rakyat dijalankan di level yang paling dekat dengan kehidupan warga.
Demokrasi Lokal di Persimpangan Jalan
Sejak pilkada langsung diberlakukan pada 2005, wajah politik lokal di Indonesia mulai mengalami perubahan. Rakyat mendapatkan hak memilih kepala daerah secara langsung, dan dari situ muncul kepala-kepala daerah dengan inovasi dan legitimasi yang kuat. Namun, sistem ini bukan tanpa cacat. Biaya politik yang tinggi, kontestasi yang membelah masyarakat, hingga praktik politik uang, membuat sebagian elit menilai pemilu langsung sebagai ancaman stabilitas dan efisiensi. Maka, gagasan pemilu tak langsung pun kembali diusulkan dengan dalih rasionalitas biaya dan penguatan sistem demokrasi lokal.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 menjadi pangkal mula kegaduhan itu. Mahkamah menyatakan bahwa pemilu kepala daerah sebaiknya dilaksanakan minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional. Pertimbangannya sederhana: agar masyarakat memiliki waktu menilai kinerja pejabat hasil pemilu sebelumnya, serta menghindari distraksi isu nasional terhadap isu-isu lokal.
Namun, terlepas dari anggapan bahwa putusan MK ini menimbulkan kerumitan hukum baru atau memicu kontroversi di tingkat elit, hal yang menarik adalah respon dan manuver politik yang menyertainya. Alih-alih memperkuat demokrasi lokal, respons elite politik justru mengarah pada pengurangan partisipasi rakyat dengan mengusulkan agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD, atau bahkan ditunjuk langsung oleh Presiden.
Dinamika politik semacam ini tentu bukan hal yang baru. Lika-likunya pernah kita lalui sejak era Orde Baru hingga saat ini. Sebelum reformasi, kepala daerah dipilih secara tak langsung oleh DPRD. Model ini berlangsung sejak lama dan baru berubah setelah munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU ini membuka jalan bagi terselenggaranya pilkada langsung. Kita ingat, bahwa pilkada langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005, dengan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Provinsi Sulawesi Utara sebagai pelopornya. Kendati demikian, praktik pilkada langsung tidak serta-merta berjalan mulus.
Dalam satu dekade pertama pelaksanaannya, kritik terhadap ongkos politik yang mahal dan polarisasi sosial bermunculan. Puncak dinamika ini terjadi pada September 2014, yang mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Saat itu, fraksi-fraksi di DPR terbelah. Koalisi Merah Putih (KMP) mendorong pemilihan lewat DPRD, sementara Fraksi PDIP, PKB, dan Hanura ingin mempertahankan sistem langsung. Fraksi Demokrat menawarkan opsi tengah dengan 10 syarat perbaikan.
Kala itu, suara terbanyak berpihak pada KMP, dan sistem pilkada langsung nyaris berakhir (Kompas, 27/9/2014). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD akhirnya ditetapkan.
Namun, sejarah mencatat langkah penting Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membatalkan UU tersebut. SBY menerbitkan dua Perppu: Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota, serta Perppu No 2 Tahun 2014 yang menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah. Perppu ini menyelamatkan demokrasi lokal dari kemunduran dan memastikan pilkada langsung tetap berlangsung hingga saat ini.
Kini, wacana yang sama kembali menyeruak. Dalam peringatan HUT ke-27 PKB pada 23 Juli 2025, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, secara terbuka menyampaikan usulan kepada Presiden Prabowo agar pemerintah mengevaluasi sistem pilkada langsung. Ia mengajukan dua opsi alternatif: pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau penunjukan langsung oleh presiden (Tempo.co, 28/7/2025).
Sebelumnya, pernyataan serupa juga dilontarkan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam perayaan HUT ke-60 Partai Golkar pada Desember 2024, yang turut dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menggarisbawahi bahwa pemilihan langsung kepala daerah menguras anggaran negara dan sebaiknya dikaji ulang. Pada saat yang sama, pernyataan itu memberi isyarat bahwa dukungan terhadap pilkada tak langsung mulai kembali menemukan tempatnya di panggung elit. Pernyataan-pernyataan itu jelas memperlihatkan bahwa sistem demokrasi lokal berada di persimpangan jalan.
Sayangnya, wacana pengembalian pilkada kepada DPRD bukan sekadar isu teknis pemilu, tetapi menyentuh dasar dari makna partisipasi warga negara dalam mengelola urusan lokalnya. Ketika partisipasi langsung dikurangi atas nama efisiensi atau stabilitas, pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang memilih, tapi sejauh mana rakyat tetap menjadi pemilik kedaulatan dalam demokrasi lokal.
Maka jelas, wacana pengembalian pilkada kepada DPRD bukanlah perdebatan prosedural belaka, melainkan menyentuh fondasi relasi antara rakyat dan negara. Untuk memahami secara gamblang implikasinya, penting untuk menelaah bagaimana perubahan sistem ini akan berdampak secara sistemik pada tata kelola pemerintahan daerah.
Dampak Sistemik bagi Tata Kelola Pemerintahan Daerah
Perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi struktural yang ditimbulkannya dalam praktik pemerintahan lokal. Dari kualitas kepemimpinan, dinamika DPRD, hingga pola hubungan kekuasaan di tingkat daerah, semuanya akan mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Hal ini tentu patut dicermati.
Pertama, pemilihan oleh DPRD berpotensi memperbesar politik transaksional dan patronase. Dalam sistem ini, muncul potensi kepala daerah “berhutang budi” kepada partai atau fraksi di DPRD, bukan kepada rakyat. Dalam Democracy for Sale, Aspinall dan Berenschot (2019) mengingatkan, bahwa demokrasi elektoral di Indonesia rentan terkooptasi oleh patronase politik.
Akibatnya, jabatan publik kerap dijadikan alat tukar kepentingan dan distribusi balas jasa politik, bukan sebagai ruang pelayanan yang berpihak pada masyarakat. Ketika hubungan antara pemimpin dan rakyat menjadi tidak langsung, insentif untuk melayani kepentingan warga melemah, dan kekuasaan cenderung disalurkan melalui jejaring elite yang eksklusif.
Kedua, akuntabilitas kepala daerah akan melemah. Karena tidak dipilih langsung oleh warga, maka tidak ada insentif kuat bagi pemimpin untuk mendengar, merespons, atau bertanggung jawab pada rakyat. Rakyat kehilangan hak untuk menghukum atau mengganti pemimpin yang gagal melalui pemilu.
Ketiga, inovasi dan kompetisi daerah yang sehat bisa tumpul. Pilkada langsung selama ini menciptakan semangat bersaing antar daerah untuk menjadi lebih baik. Dengan pilkada tak langsung, potensi pemimpin berkualitas yang lahir dari luar struktur partai bisa tertutup. Kandidat independen, misalnya, akan kehilangan jalan masuk ke dalam sistem.
Keempat, beban DPRD menjadi semakin berat dan rentan konflik internal. Dengan kewenangan tambahan untuk memilih kepala daerah, DPRD bisa menjadi medan tarik-menarik kepentingan politik antar fraksi. Ini justru dapat menghambat pengambilan kebijakan yang efektif di daerah.
Kelima, dan yang lebih substantif, adalah ancaman terhadap semangat otonomi daerah. Reformasi 1998 telah membuka jalan bagi desentralisasi kekuasaan ke daerah, bukan hanya dalam hal administrasi, tetapi juga dalam partisipasi warga. Pilkada langsung adalah pengejawantahan dari desentralisasi demokratis itu. Jika hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri dicabut, maka yang hilang bukan hanya mekanisme, tetapi semangat reformasi itu sendiri.
Menuju Reformasi Pemilu, Bukan Mundur
Daripada mundur ke sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung yang rawan kooptasi elit dan menutup ruang partisipasi publik, arah pembenahan seharusnya difokuskan pada reformasi menyeluruh terhadap pilkada langsung. Permasalahan seperti biaya politik yang tinggi, politik uang, atau kandidasi oligarkis bukanlah alasan untuk membatalkan hak memilih rakyat, melainkan menjadi titik tolak untuk memperkuat institusi demokrasi lokal.
Strategi kebijakan yang dapat dipertimbangkan mencakup pembatasan masa dan metode kampanye, pengaturan ketat atas dana kampanye, serta peningkatan kapasitas dan independensi pengawasan oleh KPU dan Bawaslu di daerah. Peran partai politik juga krusial. Partai politik perlu didorong agar lebih transparan dan akuntabel dalam proses penjaringan calon, tidak semata-mata berdasarkan kekuatan modal atau kedekatan elite, tetapi dengan meritokrasi dan rekam jejak pelayanan publik.
Dalam jangka panjang, pembenahan sistem pemilu langsung perlu ditopang oleh investasi serius dalam literasi politik warga. Sebab, demokrasi lokal hanya akan berdaya jika rakyat dibekali dengan pengetahuan dan ruang refleksi kritis untuk menentukan pilihan berdasarkan gagasan, bukan sekadar popularitas atau transaksionalitas.
Pilkada langsung memang bukan sistem tanpa cacat, tetapi ia tetap merupakan mekanisme paling sah untuk membangun legitimasi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan daerah. Menggantikannya dengan sistem pemilihan tak langsung hanya akan memperdalam jarak antara warga dan kekuasaan, serta mempercepat proses democracy backsliding.
Demokrasi yang sehat bukan sekadar efisiensi prosedural, melainkan keberanian untuk merawat kepercayaan publik dalam jangka panjang.Pilkada langsung memang bukan solusi sempurna, tetapi ia adalah perwujudan paling nyata dari demokrasi yang memungkinkan rakyat punya suara dan daya dalam memilih pemimpinnya. Demokrasi bukan semata-mata efisiensi prosedural, melainkan soal legitimasi, partisipasi, dan kepercayaan warga terhadap institusi negara.
Call to Action: Dari Flores untuk Indonesia
Kembali ke desa kecil di Flores, barangkali tak semua warga paham teori demokrasi atau sistem pemilu. Tapi mereka tahu kapan saatnya suara mereka didengar dan dihitung. Pilkada langsung telah memberikan pengalaman kolektif tentang kepemilikan atas kekuasaan. Jika itu diambil kembali, maka bukan hanya hak memilih yang hilang, tetapi juga semangat untuk percaya pada negara.
Indonesia tak sedang kelebihan demokrasi, justru sebaliknya – masih banyak ruang kosong yang perlu diisi agar rakyat benar-benar berdaulat. Maka, daripada mundur ke masa lalu, lebih baik kita perkuat masa depan dengan memperbaiki apa yang ada: menjadikan pemilu langsung lebih jujur, adil, dan berpihak pada rakyat.
Tentang Penulis:
Mahasiswa Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran, Bandung dan Mantan Ketua PMKRI Denpasar 2016/2017.