Balitopik.com, NASIONAL – Putusan Mahkama Konstitusi (MK) No: 135/PUU-XXII/2024 mendapat kritik tegas dari publik. Salah satunya datang dari Kapoksi Badan Legislasi DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan, I Nyoman Parta.
Menurut Parta, Putusan MK itu menuai konflik norma dan bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945. Yang mana dalam UUD 45 Pasal 22E dinyatakan (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sementara dalam Putusan MK No: 135/PUU-XXII/2024 justru memisahkan pemilihan nasional dan daerah dengan jarak waktu yang cukup jauh, sehingga berpotensi memberikan jabatan panjang bagi DPRD.
Sebab, dalam Putusan MK No: 135/PUU-XXII/2024 menyatakan, Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
“Jika Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada tahun 2029 berarti frasa dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan dari 2029 adalah 2031,” ucap Parta dalam keterangan tertulis diterima Bali Topik, Selasa (1/7/2025).
Bahwa MK memang tidak menyebut angka tujuh tahun, namun dengan pemilu 2029 sudah dipisah dan hanya berlaku pemilu nasional, maka jabatan DPRD harusnya berakhir 2029 baru akan berakhir pada 2031 sesuai putusan terbaru MK. Sementara untuk kepala daerah 2 tahun 6 bulan itu akan diisi oleh penjabat (Pj). Yang membingungkan adalah soal jabatan dari DPRD.
“Mungkinkah jabatan DPRD dikosongkan? tentu tidak, namun jika diperpanjang lagi dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan, maka jabatan DPRD menjadi 7 tahun tanpa ada melalui mekanisme pemilu dan inilah yang berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945,” urainya.
Parta sangat menyayangkan putusan MK tersebut. Mengingat keputusan MK bersifat final dan mengikat meskipun kontroversi dan bahkan inkonstitusional. Seperti contoh putusan syarat umur calon Wakil Presiden yang memuluskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, meski kontroversi tetap dilaksanakan.
Politisi asal Gianyar Bali ini menjelaskan, sesuai Pasal 24C UUD 45 Ayat 1, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“Frasa menguji UU terhadap UUD yang dimaksud adalah MK menguji jika ada UU yang bertentangan dengan UUD bukan malah membuat keputusan yang berpotensi bertentangan dengan UUD,” sesalnya.