Balitopik.com – Sejumlah biarawan dan biarawati Katolik bergabung bersama ratusan orang dalam lima elemen masyarakat korban pembangunan geothermal Mataloko yang tergabung dalam Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores (ALTER KGF) melakukan demonstrasi di kantor DPRD Kabupaten Ngada dan Kantor Bupati Ngada, NTT pada Rabu siang (12/3/2025).
Mereka melakukan konvoi dari Mataloko dikawal oleh aparat dari Polres Ngada. Masa juga melakukan orasi di depan Kantor DPRD dengan membawa beberapa baliho. Beberapa warga korban geothermal juga beraudiensi dengan anggota DPRD Ngada. Massa melanjutkan orasi sekalian beraudiensi dengan Bupati dan Wakil Bupati Ngada. Mereka juga menyerahkan tuntutan mereka dalam surat dari masing-masing elemen kepada pimpinan DPRD dan Bupati Ngada.
Warga menuntut agar pemboran geothermal di Mataloko segera dihentikan karena telah merusak lingkungan dan ekosistem. Akibat pemboran tersebut, banyak lumpur bersama gas yang meluber keluar sehingga merusak tanah warga yang sudah dipenuhi oleh tanaman.
Menurut warga untuk pemboran geothermal dilakukan sejak tahun 2003 namun hingga kini belum menuai hasil malah menyengsarakan warga masyarakat.
“Wilayah Mataloko sekarang ada 6 wellpad tidak difungsikan. Pemboran pertama gagal total tahun 2003. Untuk atasi bekas lubang bor, hanya dicor dengan 500 sak semen. Ada kebocoran dalam pemboran tahun 2003, ada konflik horizontal seperti pembunuhan,” kata Romo Reginald Piperno, Ketua JPIC Keuskupan Agung Ende.
Salah satu umat Paroki St Yoseph Laja, bernama Siska yang terkena imbas akibat pembangunan geothermal tersebut dalam aksi itu mengatakan, lingkungan seperti air bersih di sungai juga tercemar akibat pembuangan limbah serta penyedotan air. Air bersih di sungai yang sebelumnya bisa dipakai baik untuk mandi, cuci, minuman hewan saat ini sudah tidak bisa digunakan lagi. Padahal sungai tersebut juga menjadi sumber air primer untuk sejumlah lahan sawah dan ternak lainnya.
“Pipa untuk menyedot air di wilayah Paroki Laja sudah tercemar. Padahal air untuk konsumsi buat warga. Selain itu ada pipa pembuangan limbah ke sungai sehingga kami tolak ambil air karena merusak ekosistem dan lingkungan, merusak sawah air limbah dari geothermal mataloko,” katanya.
Pater Antonius Bastian, imam katolik yang mendampingi warga mengungkapkan, proyek geothermal di Flores, berdasarkan penelitian dan asesmen di lapangan selama satu tahun maka sudah selayaknya proyek tersebut harus dihentikan karena telah merusak pertanian warga, sumber air serta tatanan yang ada. “Geothermal bukan hadiah namun justru membawa petaka buat warga,” ungkapnya.
Sedangkan Antonius Anu salah satu pemuda yang juga terdampak pembangunan geothermal di Mataloko mengungkapkan, 6 sumur bor telah gagal pada pengeboran pertama namun masih dilanjutkan untuk pengeboran yang kedua ini. “Proyek geothermal di Mataloko hanya ajang coba-coba. Banyak lubang yang berbau belerang, kami minta mencabut izin lokasi karena sudah sekitar 1000 hektar, ” ucapnya.
Sedangkan Pater Dr. Felix Baghi, SVD, koordinator Aliansi Terlibat Bersama Korban Geothermal Flores mengatakan, periode pertama geothermal tahun 2000 gagal total dan masih dipaksakan pada periode kedua ini yang justru membawa keresahan bagi masyarakat luas buat masyarakat di Mataloko dan Laja.
Keresahan yang paling dirasakan terutama menurunnya pendapatan ekonomi warga, kerusakan rumah-rumah, perubahan suhu udara, gangguan pernapasan. Selain itu secara khusus wilayah Laja yang merupakan sumber pangan wilayah Ngada terancam kekeringan air, karena geothermal ini menghisap air dari wilayah Laja sehingga ini sangat ditentang oleh masyarakat setempat.
“Amdal yang kami baca air untuk injeksi diambil dari sungai yang tidak sesuai amdal. Keresahan masyarakat tumbuh terus dan geothermal terus berjalan. Sosialisasi tidak dibuat transparan namun secara gerilya dengan mendekati tokoh pengaruh di masyarakat. Karena itu tuntutan kami menghentikan proyek geothermal ini. Cita-cita kami adalah menjaga keutuhan lingkungan, tidak ada konflik horizontal. Kami akan datang lagi dengan masa yang jauh lebih besar bila sekiranya tuntutan kami ini tidak ditindaklanjuti, ” kata Pater Felix.
Pater Felix juga mengungkapkan, masalah proyek pembangunan geothermal di Flores sudah menjadi perhatian Badan Hak Asasi Manusia (HRC) yang berpusat di Jenewa, Swiss, di mana institusi tertinggi HAM PBB itu telah mendapat laporan dari VIVAT INTERNATIONAL, sebuah LSM internasional yang mendapat status ECOSOC dan berafiliasi dengan Department of Global Communication (DGC), serta memiliki status sebagai Observer pada United Nation Environment Programme (UNEP) dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) PBB.
“Kami mendesak Menteri ESDM Bapak Bahlil Lahadalia agar mencabut SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Desakan itu dibuat karena investasi proyek panas bumi telah merampas ruang-ruang hidup perempuan di Flores, ” tegas Pater Felix.
Bupati Ngada, Raymundus Bena ketika menemui para demonstran mengungkapkan bahwa ia harus mengecek langsung di lapangan berdasarkan aspirasi yang disampaikan warga masyarakat terdampak serta akan membentuk tim internal bersama aliansi korban untuk turun ke lapangan.
“Berkaitan dengan temuan lapangan secara akademis dan kasat mata. Tentunya secara sepihak saya tidak hanya mendengar dari pihak korban namun akan kroscek dan nanti ada tim kecil bukan hanya dari pemerintah daerah namun juga dari aliansi bisa turun ke lapangan.”
“Namun pada dasarnya ini proyek strategis nasional, dan pemerintah ini bertingkat, kalau saya mau bersikap misalnya, tentunya di satu sisi saya harus mengamankan program strategis nasional, tapi disisi lain ada aspirasi-aspirasi yang berkembang terkait kejadian lapangan, sebagai pemerintahan paling bawah yang turut mengamankan program ini tentunya harus bisa mendengar masukan-masukan, dan ini tadi kita sudah bersepakat bentuk tim, dan mungkin besok kita lakukan rapat internal,” pungkas Raymundus Bena.