Penulis: Herkulanus S. Sutarto – Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Denpasar Periode 2025-2026
Balitopik.com – Papua merupakan wilayah yang sangat kaya akan keindahan alamnya, sehingga menarik perhatian wisatawan mancanegara maupun domestik di seluruh penjuru dunia. Salah satu kepulauan yang sering dikunjungi oleh wisatawan adalah Raja Ampat wilayah kepulauan yang dijuluki sebagai “Surga Terakhir” (The last paradise) di bumi.
Raja Ampat, yang terletak di Provinsi Papua Barat, Indonesia, dikenal sebagai salah satu tujuan penyelaman terbaik di dunia dan memiliki kekayaan terumbu karang yang luar biasa. Wilayah ini terdiri dari lebih dari 1.500 pulau kecil dan terumbu karang yang luas. Terumbu karang di Raja Ampat dikenal karena keanekaragaman hayati yang luar biasa.
Wilayah ini memiliki lebih dari 75% spesies karang dunia, sehingga menjadikannya salah satu pusat biodiversitas laut yang paling krusial di planet ini. Ada lebih dari 600 jenis karang, 1.700 spesies ikan, dan sejumlah besar spesies lain seperti kima, moluska, dan biota laut lainnya. Keindahan dan keberagaman terumbu karang di Raja Ampat menjadikannya surga ekologis yang tak ternilai. Namun, surga ini kini berada dalam ancaman serius.
Di balik agenda hilirisasi industri nasional, tersembunyi kepentingan oligarki yang perlahan-lahan merongrong keutuhan ekologis Raja Ampat. Atas nama kemajuan, eksploitasi pun berlangsung, dan tanah Papua kembali menjadi korban diam-diam.
Pemerintah menggembar-gemborkan hilirisasi sebagai kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan nilai tambah sumber daya alam. Namun, jika diterapkan secara serampangan, tanpa pertimbangan ekologis dan sosial, kebijakan ini justru menjadi senjata bagi elite ekonomi untuk memperluas cengkeramannya.
Proyek-proyek industri ekstraktif mulai mengincar wilayah Raja Ampat, yang sebelumnya relatif terlindungi. Akhir-akhir ini, muncul laporan tentang pertambangan nikel di kawasan sekitar Raja Ampat, yang berpotensi merusak hutan hujan tropis dan mencemari laut yang kaya spesies.
Kelemahan pengawasan serta terbatasnya kapasitas manajemen lokal turut memperparah situasi. Masyarakat Raja Ampat yang sebelumnya hidup dari laut, kini perlahan tergeser oleh skema ekonomi luar yang tak melibatkan mereka secara adil.
Data menunjukkan bahwa infrastruktur dan fasilitas pengelolaan wisata maupun konservasi di wilayah ini masih sangat terbatas, bahkan sering bergantung pada dukungan lembaga luar negeri. Hal ini memperlihatkan adanya celah besar dalam kebijakan negara yang belum berpihak sepenuhnya kepada masyarakat adat dan konservasi.
Padahal, peluang untuk mengembangkan ekonomi hijau sangat besar. Wisata bahari dan konservasi berbasis masyarakat telah terbukti sukses mendongkrak perekonomian lokal sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Organisasi lokal bersama masyarakat Raja Ampat telah mengelola homestay berbasis komunitas yang mendatangkan wisatawan dari berbagai negara. Namun sayangnya, upaya ini tidak dilindungi secara maksimal oleh kebijakan nasional, yang justru lebih memberi ruang bagi investasi besar-besaran di sektor pertambangan dan perkebunan.
Ancaman terhadap Raja Ampat tak hanya datang dari darat. Kasus kerusakan terumbu karang seluas 18.000 meter persegi akibat kapal pesiar asing pada tahun 2017 menjadi bukti bahwa wisata massal tanpa pengaturan yang ketat juga dapat merusak ekosistem. Ditambah aktivitas tambang nikel yang masif saat ini semakin memperburuk keadaan.
Dalam konteks ini, negara bukan hanya abai, tapi juga lemah dalam menegakkan aturan perlindungan kawasan konservasi. Jika tren ini dibiarkan, maka Raja Ampat akan mengalami degradasi permanen seperti yang terjadi di banyak kawasan lain di Indonesia. “Surga Terakhir di Bumi itu Mungkin Akan Menjadi Neraka yang Abadi”.
Oleh karena itu, diperlukan tindakan konkret. Pemerintah pusat dan daerah harus segera melakukan moratorium yang masif terhadap seluruh aktivitas industri ekstraktif di kawasan Raja Ampat.
Langkah ini harus diikuti dengan peningkatan kapasitas masyarakat lokal, pelibatan aktif masyarakat adat dalam proses perencanaan pembangunan, serta penguatan sektor ekowisata berkelanjutan. Kebijakan transparan dan partisipatif harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan wilayah yang kaya akan nilai ekologis dan budaya ini.
Menjaga Raja Ampat bukan hanya soal mempertahankan keindahan alam, tetapi juga soal mempertahankan martabat bangsa. Hilirisasi yang berkelanjutan seharusnya dimulai dari pelestarian, bukan perusakan. Ketika alam Papua diperkosa demi memenuhi hasrat segelintir elite ekonomi, maka kita sedang kehilangan arah sebagai bangsa.
Sudah saatnya kita berhenti menutup mata. Indonesia butuh kebangkitan moral untuk menempatkan rakyat dan lingkungan sebagai inti dari pembangunan yang sejati. (*)