Balitopik.com, BALI – Masalah sampah organik tidak hanya menjadi kepanikan domestik. Limbah rumah tangga ini kini menjadi masalah yang sedang dihadapi masyarakat global.
Awal ketika masyarakat dunia menyadari bahaya sampah, yang paling ditakutkan adalah sampah anorganik karena sulit terurai dan mencemari lingkungan. Sebab sampah anorganik banyak ditemui di daratan, sungai maupun lautan luas yang membahayakan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.
Dunia mencari solusi dan membangun kesadaran komunal tentang bahaya sampah anorganik. Semangat ini melahirkan prinsip 3R: Reduce (Mengurangi), Reuse (Menggunakan Kembali), dan Recycle (Mendaur Ulang). Sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke lingkungan.
Alhasil sampah anorganik yang membahayakan itu dapat diolah menjadi berbagai macam produk baru yang bermanfaat, termasuk kerajinan tangan, bahan baku industri, energi alternatif (seperti biogas), dan bahan konstruksi (seperti aspal plastik).
Artinya sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi produk baru atau dimanfaatkan kembali untuk berbagai keperluan. Meski sampai saat ini sampah anorganik masih meresahkan, setidaknya sudah ada solusi konkret yang ditawarkan, tinggal dijalankan oleh pemangku kebijakan.
Kini giliran sampah organik, meski cepat terurai namun bahaya yang ditimbulkan juga tidak main-main. Disadur dari berbagai sumber, saat ini, sampah makanan menyumbang lebih banyak emisi metana ke atmosfer daripada bahan lain yang dibuang ke tempat pembuangan akhir, karena laju pembusukannya yang cepat.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, menunjukkan 58 persen emisi metana yang dilepaskan ke atmosfer dari tempat pembuangan akhir sampah berasal dari sampah makanan.
Meskipun emisi metana tidak bertahan di atmosfer selama karbon dioksida (CO2), metana tetap memiliki dampak pemanasan global lebih dari 80 kali lebih tinggi daripada CO2 selama periode 20 tahun.
Kota-Kota di Prancis
Menghadapi tantangan ini, ada solusi menarik sekaligus memiliki asas kebermanfaatan tinggi yang diterapkan sekitar tahun 2014 di Kota Colmar dan Pincè, Prancis. Sejumlah warga di kedua kota ini memanfaatkan ayam untuk menanggulangi sampah organik seperti sisa-sisa makanan. Hasilnya progresif.
Melihat hal tersebut sebagai solusi menarik, pemerintah setempat membuat program dengan membagikan 2 ekor ayam (jantan dan betina) kepada seluruh penduduk.
Program tersebut akhirnya ditiru oleh sekiranya 20 Kotamadya di berbagai wilayah di Prancis. Sebab, warga tidak hanya mendapat pasokan daging dan telur gratis yang berlimpah di rumah, tetapi juga terhindar dari sampah makanan yang berakhir di tempat pembuangan akhir.
Bali dan Masalah Sampah Organik
Provinsi Bali saat ini sedang diguncang masalah sampah organik. Ini bermula saat Pemerintah Provinsi Bali menutup pengiriman sampah organik ke TPA Suwung per tanggal 1 Agustus 2025. Kebijakan ini merujuk pada Keputusan Menteri LH/BPLH Nomor 921 Tahun 2025 yang mana TPA Suwung hanya menerima sampah anorganik dan residu.
Dasar hukum lainnya mengacu pada UU No. 18 Tahun 2008, Perpres No. 97 Tahun 2017, Perda Bali No. 5 Tahun 2011, Pergub Bali No. 47 Tahun 2019, serta Perwali Denpasar No. 15 Tahun 2023 dan No. 7 Tahun 2024 yang mewajibkan pemilahan sampah dari sumber dan melarang sampah campuran ke TPA.
Usai menutup pengiriman sampah organik ke TPA Suwung, Pemprov Bali panen protes. Masyarakat menilai kebijakan ini tergesa-gesa karena minim infrastruktur pengganti, sosialisasi, dan solusi konkret. Sasaran tembak nyinyiran warga adalah Gubernur Bali, Wayan Koster.
Wayan Koster diamuk publik karena pernyataannya yang meminta warga menyelesaikan sampah organik dari rumah masing-masing (berbasis sumber) atau gotong royong dengan membangun teba modern di desa atau kelurahan masing-masing, sementara fasilitasnya belum memadai bahkan belum tersedia.
Koster menjawab, jika tidak berani mengambil keputusan untuk memulai dari sekarang, ribuan tahun pun tidak akan pernah bisa. “Ini kan soal kemauan, kalau gak ada kemauan sampai ribuan tahun ke depan pun tidak akan selesai,” kata Koster di Kantor Gubernur Bali, Rabu (6/8/2025).
Gubernur Bali ini meminta agar warganya segera gotong royong membuat teba modern di desa atau kelurahannya masing-masing. Dia menyebutkan beberapa desa di Gianyar, Badung dan Buleleng sudah berhasil membuat teba modern hanya dengan biaya kurang lebih Rp 1 Juta.
Soal dana? Koster pun kembali menjawab desa memiliki dana desa dari pusat dan dana dari pemerintah Kabupaten/kota. Sementara untuk desa yang tidak memiliki lahan untuk pembuatan teba modern diminta bergabung dengan desa lain.
Menurut Koster menyelesaikan masalah sampah di Bali adalah tanggungjawab bersama. Ia mengatakan wajar dengan adanya kritikan dan keluhan dari masyarakat saat ini. Namun demikian, keputusan harus tetap diambil. Bahwa setiap keputusan selalu memiliki risiko.
“Harus mengambil resiko. Ini soal kesadaran bersama, jika kita tidak memiliki keberanian untuk memulai, kita tidak akan pernah menemui titik akhir dari persoalan ini,” tegasnya Wayan Koster dikonfirmasi Bali Topik, Jumat (8/8/2025).