Oleh: Herkulanus S. Sutarto -Germas PMKRI Cabang Denpasar periode 2025-2026
Balitopik.com, OPINI – Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang diinisiasi pemerintah saat ini lewat Kementerian Kebudayaan dan sekitar 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi untuk menghasilkan 10 jilid buku sejarah resmi telah menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan masyarakat sipil, sejarawan independen, dan pegiat hak asasi manusia.
Alih-alih disambut sebagai terobosan akademik, inisiatif ini justru memicu kecurigaan: apakah ini upaya ilmiah atau justru manipulasi narasi sejarah untuk kepentingan politik penguasa? Ketika negara mengklaim ingin membangun “tone positif” dalam sejarah, publik khawatir bahwa itu hanyalah nama lain dari “pemutihan masa lalu.”
Sejarah adalah ruang memori kolektif yang seharusnya memberi tempat bagi luka dan pelajaran, bukan hanya kebanggaan. Jika peristiwa-peristiwa kelam seperti pembantaian 1965, pelanggaran HAM di Timor Timur, Papua, dan tragedi Mei 1998 disingkirkan atau direduksi demi menjaga citra, maka bangsa ini sedang diajak melupakan bagian penting dari identitasnya.
Upaya semacam ini tidak hanya membahayakan objektivitas sejarah, tetapi juga mengkhianati korban dan kebenaran. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 1998 secara resmi mencatat sedikitnya 52 kasus pemerkosaan, 14 pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 penganiayaan seksual, dan 9 pelecehan seksual. Mayoritas korbannya adalah perempuan keturunan Tionghoa.
Fakta ini bukan asumsi atau narasi liar, tetapi hasil investigasi lembaga yang dibentuk langsung oleh negara. Bahkan, Komnas HAM menyatakan bahwa kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 merupakan bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai definisi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Lebih jauh lagi, Presiden BJ Habibie kala itu bahkan mengakui secara terbuka bahwa kekerasan seksual terjadi secara masif, dan sebagai bentuk tanggung jawab moral-politik, beliau menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 yang membentuk Komnas Perempuan, sebagai lembaga independen untuk menangani persoalan ini.
Maka, jika hari ini ada pihak yang menyebut bahwa kekerasan seksual massal Mei 1998 hanyalah rumor atau hoaks, ia tidak hanya sedang memutarbalikkan fakta, tetapi juga secara terang-terangan menolak keberadaan lembaga resmi negara dan hasil kerja penyelidikan negara sendiri.
Kekhawatiran publik juga bertambah ketika proses penulisan ulang ini dianggap terburu-buru dan elitis. Dengan waktu kurang dari setahun dan minimnya keterlibatan kelompok rentan seperti perempuan, buruh, dan masyarakat adat, proyek ini terlihat tidak inklusif.
Penulisan sejarah yang terburu-buru berisiko mereduksi kompleksitas sosial-politik yang seharusnya dijelaskan secara hati-hati dan jujur, bukan dikompresi demi kepentingan seremoni atau politisasi.
Narasi tunggal yang ingin dijadikan “sejarah resmi” juga menjadi tanda bahaya. Sejarah tidak pernah hitam-putih dan selalu terbuka untuk penafsiran. Ketika negara berambisi memonopoli narasi, maka kritik ilmiah bisa dipinggirkan, dan akademisi kehilangan kebebasan berpikir. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat demokrasi dan pembelajaran sejarah sebagai ruang dialog yang kritis.
Menulis ulang sejarah seharusnya menjadi momentum untuk menghadirkan suara-suara yang selama ini dibungkam, bukan sebaliknya. Jika proyek ini tidak transparan, tidak partisipatif, dan cenderung menyensor kebenaran, maka publik berhak mempertanyakannya.
Kita butuh sejarah yang jujur, bukan yang sekadar menyenangkan penguasa. Sebab bangsa yang lupa luka, akan mudah mengulang derita yang sama. (*)