Balitopik.com, TABANAN – Festival Jatiluwih kembali digelar untuk keenam kalinya di kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, selama dua hari, Sabtu (19/7/2025) hingga Minggu (20/7/2025).
Mengusung tema “Grow with Nature” atau Tumbuh Bersama Alam, festival ini tak sekadar menjadi ajang hiburan, tetapi juga sarana menguatkan komitmen masyarakat untuk hidup selaras dengan alam dan budaya.
Digelar di lanskap sawah terasering yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, perayaan ini menjadi momen penting untuk merawat harmoni alam dan kearifan lokal.
Manajer DTW Jatiluwih, John Ketut Purna, menyebut tema tahun ini sebagai pengingat, apalagi popularitas Jatiluwih memang kian meningkat, namun seiring dengan itu, tanggung jawab menjaga kelestariannya juga semakin besar.
“Semakin banyak tamu datang, semakin besar pula tanggung jawab kita merawat alam. Kami ingin mengajak masyarakat kembali pada warisan leluhur dan hidup selaras dengan alam, sesuai filosofi Tri Hita Karana,” ujarnya usai pembukaan festival, Sabtu (19/7/2025).
Tahun ini, Jatiluwih tak hanya merayakan festival tahunan, namun juga keberhasilan besar, atas penghargaan sebagai Desa Wisata Terbaik Dunia 2024 oleh United Nations Tourism.
Untuk itu, berbagai atraksi baru disiapkan, menyasar terutama wisatawan domestik yang diharapkannya lebih banyak hadir dan turut menikmati keindahan serta kekayaan budaya agraris Bali.
Salah satu daya tarik utama festival kali ini adalah hadirnya ikon dan maskot baru yang diangkat dari mitologi lokal.
“Yang membedakan tahun ini adalah penekanan pada kearifan lokal. Kami juga menghadirkan tarian maskot Jatiluwih hasil kolaborasi dengan ISI Bali, serta kostum Dewi Sri dan Jatayu yang monumental,” jelas John.
Selain itu, sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri, dewi kesuburan dalam kepercayaan masyarakat Bali, panitia juga membangun patung setinggi lima meter dari bahan alami. Patung ini menjadi ikon utama festival dan dikerjakan selama tiga bulan penuh.
Lebih lanjut, ia menyebut festival Jatiluwih juga menegaskan keberpihakan pada masyarakat lokal. Hampir seluruh pekerja dan seniman yang terlibat merupakan warga sekitar.
“Tahun ini hampir 99 persen pengisi acara hingga tim produksi berasal dari Jatiluwih. Sejak awal, kami ingin agar uang dari wisatawan kembali ke masyarakat, baik petani maupun seniman,” tegas John.
Target pengunjung pun cukup ambisius, yakni 3.000 orang pada hari pertama dan 4.000 pada hari kedua. Selama ini, kunjungan wisatawan domestik masih terbatas, hanya sekitar 10 persen dari total pengunjung. Festival ini diharapkan bisa meningkatkan kunjungan di hari biasa yang rata-rata hanya 200–300 orang per hari.
“Salah satu misi utama festival ini adalah meningkatkan jumlah kunjungan lokal di luar hari libur,” tambahnya.
Sementara itu, Bupati Tabanan, I Komang Gede Sanjaya, menyambut baik penyelenggaraan festival yang dianggap mampu menjaga ruh budaya agraris Bali.
Ia menekankan pentingnya melestarikan tradisi pertanian seperti nengale (melihat sawah), nyekap (mengolah lahan), dan numu (memanen padi), yang diwariskan turun-temurun.
“Kami di Tabanan berpijak pada akar budaya agraris. Pariwisata hanyalah bonusnya. Yang utama adalah menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan ribuan tahun,” ujar Sanjaya.
Menanggapi kekhawatiran akan alih fungsi lahan, Sanjaya memastikan komitmen pemerintah dalam menjaga keasrian kawasan Jatiluwih. Menurutnya, pemetaan zonasi telah dilakukan bersama pemerintah pusat, dan penguatan aturan dilakukan hingga ke tingkat desa adat.
“Kami dorong desa adat membuat pararem (aturan desa) agar lahan pertanian tetap lestari. Ini cara paling efektif untuk menjaga Jatiluwih dari alih fungsi lahan,” tandasnya. (*)