Nyaris seminggu sudah peristiwa banjir bandang melanda Bali.
Catatan duka masih basah: delapan belas jiwa meregang nyawa, empat orang masih hilang tak tentu rimbanya.
Kita semua larut dalam keprihatinan, apalagi sebagian turut menjadi korban.
Namun, seperti biasa, dunia paradoks segera menampakkan wajahnya: alih-alih bersatu, malah sibuk saling menyalahkan, merasa paling pintar, menuding pemerintah salah, merasa diri paling benar.
Media sosial pun berubah jadi arena adu mulut, seolah-olah yang paling keras bersuara adalah yang paling peduli. Padahal, kenyataannya, kepedulian itu sering hanya sebatas kata-kata.
Yang seharusnya menjadi prioritas justru terpinggirkan. Mereka yang kehilangan nyawa, siapa yang menenangkan keluarganya? Mereka yang mobilnya terendam, motornya hanyut, apa peduli orang lain dengan biaya servis yang mencekik?
Ada yang pontang-panting mencari towing untuk sekadar menggeser mobil ke bengkel, adakah yang peduli? Ada yang kebingungan membayar laundry pakaian penuh lumpur. Ada pula pelajar yang buku-bukunya basah, hanyut bersama arus, tapi hingga kini tak terdengar sepatah kata pun dari kepala sekolah atau dinas pendidikan untuk menenangkan hati siswa.
Di mana kepedulian? Adakah jaminan buku pengganti? Ataukah cukup sekadar membiarkan mereka izin ke sekolah karena seragamnya basah?
Ironisnya, di tengah derita itu, ada sekolah yang masih tega melaksanakan ujian tengah semester. Seakan-akan guru-gurunya tak tahu, atau pura-pura tak tahu, bahwa murid-muridnya sedang ditimpa bencana.
Di mana empati? Beginikah cara orang Bali menghadapi musibah?
Sementara itu, netizen ribut membicarakan gaya komunikasi pejabat. Seolah-olah itu yang paling penting. Apakah gaya berkomunikasi para pengkritik lebih baik?
Apakah pejabat negara sekelas anggota DPD hanya bisa menangis, marah-marah di media? Lalu dimana orientasinya pada korban? Pada yang meninggal, bagaimana biaya penguburannya, bagaimana upacara ngaben yang layak? Pada mereka yang di pengungsian, bagaimana makanan dan obat-obatan mereka?
Paradoks semakin nyata ketika sebagian orang tak mampu menundukkan kepala, tak mampu menyempatkan waktu untuk berempati.
Mereka dengan pongahnya berswafoto di tengah orang berduka, berfoto bersama pejabat sambil mengacungkan jempol. Dua jari dilambaikan, seolah kemenangan, padahal di sekitarnya masih bergelut dengan lumpur, duka masih terlihat pekat.
Nanti, setelah korban pulih, pengungsi kembali, barulah waktu tepat memberikan masukan, analisa apa yang menjadi penyebab terjadinya musibah.
Kalau saya lebih baik pengambil kebijakan membentuk tim investigasi. Mencari tahu penyebab yang sejatinya berdasarkan kajian para pakar. Bukan berdasarkan asumsi dangkal atau pengamatan sepintas. Kajian yang komprehensif dan akademis sangat diperlukan.
Bila perlu profesor-profesor diturunkan untuk meneliti, memaparkan sebab-musabab, lalu menawarkan solusi.
Jika ada alih fungsi lahan, harus ada jalan keluar. Jika ada bangunan tak berizin, harus dibongkar. Semua mesti didasarkan pada kajian serius, bukan omongan kosong.
Sebab dunia paradoks ini tak bisa kita biarkan. Musibah semestinya menundukkan hati, bukan meninggikan ego. Bencana mestinya menyatukan, bukan memecah.
Dan bila kita tak belajar dari air bah ini, jangan salahkan bila suatu hari alam kembali menagih dengan cara yang lebih murka. (*)