Balitopik.com, DENPASAR – Pemerintah Provinsi Bali akan mengusulkan ke pemerintah pusat dan DPR RI agar Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) dievaluasi.
Bahwa kewenangan OSS yang selama ini tersentralisasi di pusat telah merugikan daerah. Pemerintahan Bali tidak diam, dinilai sistem ini telah banyak merugikan sehingga perlu dievaluasi.
Hal ini dibahas dalam rapat koordinasi evaluasi OSS yang dipimpin Gubernur Bali Wayan Koster bersama Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, Dinas PMTSTP Kabupaten/Kota se-Bali, dan Tim Pengkaji Regulasi OSS di Ruang Rapat Kerta Sabha, Jayasabha, Denpasar, Rabu (8/10/2025).
Rapat ini menghasilkan 6 usulan strategis yang akan disampaikan ke pemerintah pusat dan DPR RI sebagai bahan evaluasi OSS.
Pertama, sinkronisasi norma OSS dengan regulasi daerah (RTRW dan RDTR). Kedua, Pengembalian kewenangan verifikasi izin kepada pemerintah daerah. Ketiga, Klasifikasi ulang sektor usaha, terutama pariwisata dan perdagangan modern, menjadi risiko menengah atau tinggi.
Keempat, Kenaikan ambang modal PMA untuk daerah padat investasi seperti Bali. Kelima, Hak koreksi daerah terhadap izin yang melanggar tata ruang atau berkembang melebihi kapasitas. Keenam, Pemberian kewenangan daerah menentukan bidang usaha yang sudah jenuh.
“OSS yang terlalu tersentralisasi ini sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah. Semua kendali ada di pusat, daerah hanya jadi penonton. Kita harus ubah norma-normanya supaya daerah punya ruang untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan budaya Bali,” ujar Gubernur Koster.
Gubernur Koster menegaskan, sistem ini telah mengambil alih kewenangan daerah. Karenanya 6 usulan tersebut akan segera disampaikan ke pemerintah pusat dan DPR RI.
“Masalah utamanya bukan teknis, tapi normatif. OSS dalam bentuk sekarang telah mengambil alih kewenangan daerah dan menimbulkan banyak korban di lapangan,” katanya.
Apalagi, kata Koster, Bali sebagai daerah yang sudah matang investasinya, membutuhkan skema kebijakan khusus agar pengelolaan ruang dan investasi tidak menimbulkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan.
“Saya akan sampaikan langsung ke kementerian dan DPR agar norma dan pasal-pasal yang bermasalah disesuaikan. Bali tidak menolak investasi, tapi harus ada keberpihakan yang jelas pada ekonomi rakyat,” pungkasnya. (*)