Penulis: Efatha Filomeno Borromeu Duarte – Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNUD
Balitopik.com – Enak mana, bakmi godog di warung Bu Citro Solo, atau bakmi yang disajikan di Istana Negara? Tentu lidah punya selera masing-masing. Tapi Presiden Prabowo Subianto dan pendahulunya, Presiden Joko Widodo, tampak menikmati sekali bakmi Solo itu.
Senyum keduanya lebar. Salamannya erat. Foto-fotonya menyebar ke seluruh negeri. Pesan yang ingin disampaikan jelas, kami rukun. Kami solid. Pemerintahan ini adalah kelanjutan yang harmonis.
Begitukah? Mari kita coba lihat menunya lebih dalam. Di balik semangkuk bakmi hangat itu, ada menu-menu lain yang tidak tersaji di meja.
Menu pertama, diplomasi. Pak Prabowo pulang dari Solo dengan oleh-oleh cerita sukses. Perjanjian dengan Uni Eropa (IEU-CEPA) yang 10 tahun macet, akhirnya beres. Tarif ekspor ke Amerika yang tadinya 32 persen, bisa turun jadi 19 persen. Hebat.
Tapi selalu ada babak di belakang panggung. Penurunan tarif dari Amerika itu, ternyata ada “harga”-nya. Indonesia harus komit membeli energi dan pangan dari sana. Nilainya tidak kecil yaitu sekitar 15 miliar dolar.
Ini bukan kemenangan gratis. Ini bisnis. Jual-beli. Wajar dalam hubungan antarnegara. Tapi membingkainya sebagai kemenangan negosiasi murni, itu adalah panggung. Pesan politiknya jelas, “Saya yang sekarang bekerja. Saya yang menyelesaikan.” Sebuah penanda era baru.
Lalu menu kedua, komposisi di meja makan. Ada Pak Prabowo. Ada Mas Gibran. Ada juga Aris Marsudiyanto, orang kepercayaan Pak Prabowo. Tuan rumahnya, Pak Jokowi.
Kita semua tahu, saat itu posisi Mas Gibran sedang jadi omongan. Ada forum purnawirawan TNI yang mengajukan petisi pemakzulan ke DPR. Alasannya, pencalonan Mas Gibran dulu itu inkonstitusional.
Di tengah isu sepanas itu, mereka makan bersama. Tersenyum. Ini bukan lagi soal bakmi. Ini soal pesan terbuka. Bagi saya, ini seperti adegan “menitipkan”. Pak Jokowi seolah berkata “Ini Gibran, Wapres Anda.” Dan Pak Prabowo menjawab dengan gestur “Iya, dia aman bersama saya.”
Ini bukan sekadar kehangatan keluarga. Ini adalah jaminan politik. Sebuah penegasan bahwa Gibran adalah “aset bersama” yang nasibnya mengikat kedua tokoh ini. Sebuah jaminan yang punya tanggal kedaluwarsa.
Lalu ada manuver-manuver di luar Solo. Ini yang lebih seru. Saat Pak Prabowo sedang ke Tiongkok April lalu, beberapa menteri “sowan” ke Solo. Menemui Pak Jokowi. Ada Pak Bahlil, Pak Trenggono, Pak Erick Thohir. Konsultasi, katanya. Ke “bos lama” saat “bos baru” sedang tidak di tempat. Anda bisa tafsirkan sendiri artinya.
Di sisi lain, Pak Prabowo juga tidak diam. Diam-diam, ada pertemuan dengan Ibu Megawati di Teuku Umar. Ini langkah catur yang sangat cerdas. Pak Prabowo menunjukkan bahwa ia punya banyak teman. Ia tidak bergantung pada satu pintu saja. Pesan ini jelas tidak ditujukan untuk Bu Mega, tapi untuk orang lain yang melihat pertemuan itu.
Jadi, di depan panggung ada pertunjukan harmoni. Di belakangnya, semua pihak sibuk memperkuat benteng dan mencari kawan baru. Ujung-ujungnya, semua ini soal “dapur”. Soal uang.
Pemerintahan Pak Prabowo punya program raksasa, makan bergizi gratis. Anggarannya? Sekitar Rp 700 triliun setahun. Dahsyat. Uangnya dari mana? Tentu dari pergeseran pos-pos lain. Anggaran infrastruktur, misalnya, dipangkas sedikit. Yang tidak terlalu strategis, ditunda dulu.
Lalu ada gebrakan baru lagi yakni pembentukan lembaga investasi super bernama “Danantara”. Nilainya lebih dahsyat lagi sekitar 900 miliar dolar. Yang menarik, lembaga ini dikontrol langsung oleh Presiden. Di luar jalur birokrasi Kemenkeu atau Bappenas yang biasa.
Tujuannya mungkin baik, agar lincah, cepat, tidak birokratis. Tapi ini juga berarti kontrol penuh. Kekuatan finansial yang luar biasa besar di satu tangan.
Jadi, pertemuan Solo itu apa? Bukan sekadar nostalgia dua sahabat. Jelas bukan. Bukan juga deklarasi perang terbuka. Belum saatnya.
Bagi saya, pertemuan Solo adalah sebuah gentlemen’s agreement. Sebuah jeda. Sebuah parley, istilah dalam film bajak laut. Kedua kapten kapal bertemu di pulau netral untuk menyepakati aturan main sementara. Agar tidak saling tembak dulu.
Anggap saja ini Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) informal antara dua pemegang saham terbesar “PT Indonesia”. Keduanya sepakat, Anda jaga aset Anda, saya jaga aset saya. Kita tampilkan ke publik bahwa perusahaan ini solid. Jangan sampai harga saham anjlok.
Pak Jokowi mengamankan Gibran dan jaringannya. Pak Prabowo mengamankan otoritasnya sebagai presiden baru yang butuh ruang gerak penuh, termasuk dengan dana super besarnya.
Pertemuan Solo bukanlah akhir dari cerita. Justru ini adalah babak pembuka dari sebuah drama panjang menuju 2029. Panggungnya sudah ditata. Para aktor sudah mengambil posisi. Kita, para penonton, tinggal siapkan kopi. Ceritanya bakal panjang. (*)