Oleh: Efatha Filomeno Borromeu Duarte
Balitopik.com, CERPEN –
Saya kira truk itu mau perang. Bukan karena ngebut. Tapi karena benderanya.
Di belakang baknya, berkibar bendera hitam. Bergambar tengkorak. Tapi tengkoraknya… kok malah senyum? Dan hal ini yang bikin saya kaget sekaligus geli, ternyata, pakai topi jerami.
Ya… topi jerami!
Saya terdiam sejenak. Oh, ternyata… Kapten Luffy sedang mau ikut merayakan kemerdekaan.
Semua ini berawal dari imbauan Presiden Prabowo, ayo kibarkan Merah Putih sepanjang bulan Agustus.
Ajakan nasionalisme. Simpel. Bersih. Merah di atas, putih di bawah. Beres.
Tapi rakyat kita memang kreatif.
Mereka bilang, “Boleh, Pak. Kami kibarkan. Tapi boleh dong… kami tambahkan sedikit?”
Lalu muncullah catatan kaki.
Bendera hitam. Tengkorak senyum. Topi jerami.
Satu-satunya bajak laut yang tidak menakutkan… tapi bikin pemerintah mendadak serius.
Saya bayangkan sebuah rapat tingkat tinggi. Di ruang rapat yang dingin. Di layar besar, bukan grafik ekonomi atau peta IKN mungkin, tapi gambar bajak laut dari komik Jepang.
“Ini bendera siapa?”
“Monkey D. Luffy, Pak. Dari anime One Piece.” “Dia caleg dari mana?”
“Bukan caleg, Pak. Dia karakter fiksi.” “Wah, berarti ini konspirasi imajinatif.”
Tapi mari kita bicara serius. Walau sedikit sambil tersenyum. Kenapa bendera ini tiba-tiba muncul di mana-mana?
Di rumah warga. Di truk. Di kapal nelayan. Bahkan di warung bakso.
Jawabannya mungkin begini, karena ia simbol yang aman, tapi tetap mengandung sentilan sosial.
Dalam cerita One Piece, Luffy bukan pemberontak sembarangan. Dia melawan kekuasaan absolut bernama “Pemerintah Dunia.” Sebuah lembaga raksasa yang mengontrol narasi, sejarah, hukum, dan tentu saja… keadilan. Versi kartunnya.
Luffy melawan bukan karena ingin berkuasa. Tapi karena tidak tahan melihat kebohongan dilembagakan dan merupakan sang Pembebas bahkan dengan tarian khasnya. Melihat hukum dimonopoli. Melihat keadilan jadi barang koleksi, bukan barang publik.
Dan cerita itu… entah kenapa, terasa dekat sekali.
Anak-anak muda zaman sekarang tidak hanya demo dengan spanduk dan toa. Mereka sudah lulus dari babak “teriak-teriak.”
Mereka kadang lebih memilih bahasa simbol. Meme. Kartun. Stiker. Bendera lucu.
Karena mereka tahu, kadang berdebat bisa disensor. Orasi bisa distigma. Tapi kalau pakai bendera kartun?
Silakan larang, nanti disebut “negara takut anime.” Cerdas. Diam-diam tajam.
Tentu saja, di Senayan dan sekitarnya, ada yang gelisah.
Ada yang bilang ini upaya sistematis untuk memecah belah bangsa. Ada yang sudah terima “laporan intelijen.”
Mungkin karena tengkoraknya dianggap ancaman. Atau karena topinya… terlalu merakyat.
Tapi rakyat tidak sedang mau perang. Mereka hanya ingin bicara. Dengan cara yang tidak membuat gaduh. Tapi tetap terdengar istilahnya kritik infrapolitik. Begini penjelasanya… kata “infra” artinya bawah, seperti dalam “infrastruktur”. Jadi infrapolitik yaitu politik di bawah permukaan, tak terlihat langsung, tapi punya dampak sosial dan politik yang nyata.
Karena kalau mau jujur, kadang suara paling serius… disampaikan lewat cara yang paling lucu.
Saya kira, ini bukan soal bajak laut. Ini soal rasa ingin didengar. Bahwa ada kekecewaan yang tidak bisa disalurkan lewat forum resmi. Bahwa ada keresahan yang tidak cocok masuk format FGD.
Jadi rakyat membuat kanal sendiri. Dengan bendera. Dengan Luffy. Dan jangan salah, ini bukan bentuk kebencian. Ini bentuk harapan.
Kalau mereka sudah tidak peduli, mereka tidak akan capek-capek beli bendera.
Yang diam itulah yang justru beracun.
Lalu, saya ingat satu video lama.
Pak Prabowo ternyata tahu siapa itu Luffy. Menyebutnya dengan nada kagum. Mungkin karena Luffy mirip, punya kapal, loyal pada kru, dan keras kepala dalam hal prinsip.
Berarti sebenarnya… kapten negara kita dan kapten bajak laut itu punya kesamaan. Sama-sama tidak suka ketidakadilan.
Sama-sama punya mimpi besar.
Yang satu mau jadi raja bajak laut.
Yang satu sudah jadi presiden. Kapten kita.
Saya rasa, tidak semua orang harus paham kenapa banyak yang kibarkan bendera tengkorak itu. Sama seperti tidak semua orang paham kenapa Luffy, meski babak belur, masih bisa tertawa sambil mengunyah daging.
Tapi begitulah ceritanya.
Kalau perut lapar, ya makan. Kalau hati sesak, ya berkibar.
Karena di zaman di mana orang lebih cepat mengirim stiker daripada surat resmi, siapa tahu… topi jerami itu sedang berkata,
“Aku tidak tahu apa itu politik… tapi aku tahu daging ini enak, dan temanku sedang menangis. Itu cukup buatku alasanku untuk bertarung.”
Maka jangan tanya pakai teori siapa-siapa.
Mungkin para pengibar hanya ingin keadilan itu terasa seperti daging panggang, hangat, nyata, dan bisa dibagi ramai-ramai. (*)