Balitopik.com – Yang terjadi di Universitas Udayana (UNUD) soal perlawanan mahasiswa terhadap perjanjian kerja sama (PKS) antara pihak Universitas dengan Kodam IX/Udayana kembali memperbaharui ingatan publik tentang fakta dan sejarah kekuatan mahasiswa.
Seperti misalnya perlawanan mahasiswa pada tahun 1966 yang menentang kebijakan Soekarno yang dianggap tidak demokratis dan menuntut reformasi. Perlawanan ini dikenal sebagai Gerakan Mahasiswa 1966 dan menjadi salah satu faktor yang memicu transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Kemudian tahun 1998 mahasiswa Indonesia menjadi kekuatan utama dalam menuntut reformasi politik dan menentang rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Mahasiswa menuntut transparansi, demokrasi, dan keadilan sosial. Perlawanan ini memuncak dengan demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan di berbagai kota, yang akhirnya memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri.
Selain itu perlawanan mahasiswa terhadap RUU KUHP pada tahun 2019 yang dianggap mengancam kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Dan perlawanan terhadap Omnibus Law pada tahun 2020 karena dianggap mengancam hak-hak buruh, lingkungan, dan masyarakat adat.
KEMBALI ke UNUD. Sejak Rektor Universitas Udayana Prof. Ir. I Ketut Sudarsana, S.T., Ph.D., menekan kerja sama dengan Kodam IX/Udayana pada tanggal 5 Maret 2025, riak-riak perlawanan mahasiswa menggelora. Mahasiswa UNUD menganggap kerja sama itu telah mengancam independensi dan kebebasan akademik di lingkungan kampus. Kampus Udayana Bukan Barak.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Udayana menjadi motor dalam perlawanan itu. Mereka menggerakan seluruh civitas kampus mengadakan konsolidasi agung.
Puncaknya pada 8 April 2025, diadakanlah Sidang Akbar Mahasiswa di Auditorium Widya Sabha, Kampus Bukit Jimbaran. Dalam dialog terbuka itu 13 Fakultas yang ada di UNUD mendesak Rektor Universitas Udayana Prof. Ir. I Ketut Sudarsana, S.T., Ph.D., membatalkan perjanjian kerja sama itu.
Setelah mendengarkan aspirasi mahasiswa, akhirnya terjadi kesepakatan untuk mengusulkan pembatalan PKS antara Universitas Udayana dan Kodam IX/Udayana. Kesepakatan ini dituangkan secara tertulis dan ditandatangani langsung oleh Ketua DPM Universitas Udayana, Ketua BEM Universitas Udayana dan Rektor Universitas Udayana.
“Kampus ini milik kita bersama. Apapun yang menimbulkan keresahan, wajib kami dengarkan dan pertimbangkan dengan hati terbuka. Saya mendengar, dan saya memahami,” kata Rektor UNUD Prof. Sudarsana.
Prof. Sudarsana mengapresiasi semangat intelektual mahasiswa dalam mengawal kebijakan institusional. Dia sadar bahwa ruang akademik memang harus tetap bebas dan terbuka tanpa intervensi siapapun.
“Kampus berkomitmen untuk menjaga ruang akademik tetap aman, terbuka, dan bebas dari intervensi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan berpikir dan otonomi pendidikan tinggi,” pungkasnya. (*)