Balitopik.com, DENPASAR – Gubernur Bali, Wayan Koster, didampingi Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, menghadiri High Level Meeting (HLM) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Bali Tahun 2025 yang digelar di Gedung Bank Indonesia, Denpasar, pada Jumat (14/11/2025).
Pertemuan ini menjadi forum penting untuk memperkuat koordinasi lintas sektor dalam menjaga stabilitas harga dan memperkuat ketahanan pangan di seluruh daerah Bali.
Dalam kegiatan yang turut dihadiri Wakil Menteri Dalam Negeri Dr. Ribka Haluk, Forkopimda Bali, para Bupati/Wali Kota se-Bali, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Kepala BPS Bali, serta seluruh anggota TPID se-Bali tersebut, Gubernur Koster menyampaikan bahwa kondisi inflasi Bali masih berada dalam kategori terkendali, namun tetap memerlukan langkah antisipatif dan kerja sama yang solid antar-instansi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi Bali pada Oktober 2025 tercatat 2,61% (y-on-y) dengan inflasi 0,16% (m-to-m) dan 1,79% (y-to-date). Inflasi tertinggi berada di Kota Denpasar sebesar 3,29%, sementara terendah di Kabupaten Badung sebesar 1,65%. Angka-angka ini menunjukkan perlunya perhatian serius, terutama untuk menjaga keseimbangan ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, kelancaran distribusi, serta komunikasi efektif sesuai strategi 4K.
Gubernur Koster menegaskan bahwa peningkatan harga sejumlah komoditas pangan strategis, serta naiknya permintaan masyarakat menjelang akhir tahun, menjadi faktor pendorong inflasi yang perlu direspons cepat melalui sinergi antara Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, Bulog, serta pelaku usaha.
“Kita harus memastikan stabilitas pasokan dan distribusi kebutuhan pokok agar inflasi tetap rendah dan daya beli masyarakat terjaga,” ujarnya.
Melalui HLM TPID 2025 ini, Gubernur Koster berharap seluruh pihak dapat memperkuat kerja sama dan merumuskan langkah strategis yang lebih tepat sasaran.
Kolaborasi TPID provinsi dengan kabupaten/kota juga diharapkan semakin solid dalam mengawal program pengendalian harga di lapangan.
Wamendagri Ribka Haluk: Percepatan Realisasi APBD sebagai Penggerak Utama Ekonomi
Selanjutnya, Wakil Menteri Dalam Negeri Dr. Ribka Haluk dalam paparannya menyampaikan ringkasan kondisi ekonomi nasional dan arah kebijakan pemerintah menuju Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden 2025–2029, yang selaras dengan visi Indonesia Emas 2045.
Wamendagri menjelaskan bahwa inflasi nasional per Oktober 2025 berada pada level 2,86% (y-on-y), meningkat tipis dibanding bulan sebelumnya tetapi tetap dalam batas target pemerintah. Inflasi bulan ke bulan tercatat 0,28%, sementara inflasi tahun kalender sebesar 2,10%. Data ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat tetap kuat, didukung oleh stabilitas ekonomi nasional.
Ia juga menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III 2025 yang stabil dan kompetitif dibanding banyak negara G20, serta capaian positif seperti surplus neraca perdagangan selama 64 bulan berturut-turut, penurunan tingkat pengangguran, dan penurunan angka kemiskinan.
Terkait pengendalian inflasi daerah, Wamendagri menekankan pentingnya:
- Pelaporan dan evaluasi rutin TPID,
- Penguatan data dan monitoring harga pangan,
- Respons cepat terhadap komoditas penyumbang inflasi.
Wamendagri juga menyampaikan arahan penting terkait percepatan realisasi APBD, mengingat peran belanja pemerintah sebagai penggerak utama ekonomi. Pemda didorong meningkatkan serapan anggaran, mengoptimalkan pendapatan daerah, menertibkan potensi kebocoran pajak, dan menghindari penumpukan belanja pada akhir tahun.
Mengakhiri sambutanya pada HLM TPID, Wamendagri mengajak seluruh pemerintah daerah di Bali memperkuat komitmen, mempercepat kerja-kerja kolaboratif, dan menjaga stabilitas inflasi melalui respons cepat dan kebijakan berbasis data.
Bank Indonesia: Inflasi Bali lebih Rendah dan Terjaga dari Inflasi Nasional
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Erwin Soeriadimadja, dalam paparannya menyampaikan bahwa Bali mencatat inflasi 0,16% (mtm) pada Oktober 2025, meningkat setelah deflasi bulan sebelumnya. Secara tahunan, inflasi Bali 2,61% (yoy), lebih rendah dari inflasi nasional 2,86% (yoy).
Hal ini menunjukkan inflasi Bali relatif terjaga, meski volatilitas harga bulanan masih tinggi dan memerlukan kewaspadaan.
BI menyoroti sejumlah komoditas penyumbang inflasi bulanan, yaitu: cabai merah, sawi hijau, daging ayam ras, emas perhiasan, dan jeruk. Sementara komoditas penyumbang deflasi antara lain: beras, tomat, canang sari, bahan bakar rumah tangga, dan jagung manis.
BI juga menyampaikan bahwa komoditas dengan bobot pengaruh inflasi terbesar adalah: beras, daging ayam ras, minyak goreng, telur ayam ras, dan daging babi.
Sementara komoditas dengan volatilitas tertinggi mencakup cabai rawit, cabai merah, tomat, dan sawi hijau, yang harus menjadi fokus pengendalian. Berdasarkan pola historis, komoditas seperti canang sari, cabai merah, cabai rawit, pisang, jeruk, dan daging babi hampir selalu mengalami kenaikan harga pada periode Galungan–Kuningan.
BI juga menyoroti risiko tambahan seperti tingginya permintaan selama peak season wisatawan, ketidakpastian cuaca yang memengaruhi produksi hortikultura, kenaikan harga emas global, potensi gangguan distribusi akibat gelombang tinggi dan angin kencang.
Data neraca pangan awal November 2025 menunjukkan bahwa meski stok beberapa komoditas seperti beras, minyak goreng, gula, dan daging babi masih relatif aman, ketahanan stok daging ayam, cabai rawit, dan tomat masih di bawah rasio 3, sehingga perlu penguatan pasokan lokal.
Untuk itu, BI mengusulkan langkah jangka pendek dan menengah melalui strategi 4K, antara lain: Ketersediaan Pasokan: modernisasi pertanian (GAP, smart farming), penguatan cadangan pangan daerah, dan KAD. Keterjangkauan Harga: pasar murah, operasi pasar, dan sinergi dengan Bulog. Kelancaran Distribusi: pemantauan distribusi BBM & LPG, koordinasi satgas pangan, dan fasilitasi distribusi pangan. Komunikasi Efektif: publikasi informasi harga, jadwal pasar murah, dan diseminasi neraca pangan.
BI juga menekankan perlunya penguatan program GNPIP 2025 yang mencakup klaster pangan, hilirisasi, pemanfaatan teknologi pertanian, hingga optimalisasi pasar murah di seluruh kabupaten/kota. (*)















