Balitopik.com – Pengamat politik Universitas Udayana, Efatha Filomeno Borromeu Duarte membeberkan sejumlah alasan tingginya golongan putih (golput) pada Pilkada Bali 27 November 2024 kemarin. Berdasarkan hasil real count internal PDIP Bali dari Salinan C Hasil 6.795 TPS, angka golput mencapai 1.221.874 suara atau sekitar 37 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT).
Fakta ini dapat dikatakan partisipasi pemilih menurun, hanya 63 persen partisipan. Jika dibandingkan dengan Pilkada Bali 2018 yang mencapai 71,96 persen, maka pilkada Bali 2024 menurun hingga angka sekitar 8,5 persen.
Menurut Efatha, meningkatnya angka golput atau menurunya partisipasi masyarakat terhadap Pilkada Bali 2024 disebabkan oleh beberapa faktor.
1. Institusi Politik
Bagi Efatha, institusi politik seperti KPU sebagai penyelenggara pemilu dan partai politik sebagai kendaraan politik tugasnya meningkatkan dukungan dan legitimasi masyarakat terhadap sistem politik yang ada. Jika tidak maka akan muncul ketidakpercayaan masyarakat.
“Kalau kita telisik, pentingnya legitimasi dan dukungan terhadap sistem politik yang ada ini harusnya dipertahankan dan ditumbuh kembangkan, kalau kepercayaan terhadap institusi politik ini menurun tidak akan menarik dukungan dan partisipasi masyarakat. Ketidakpercayaan terhadap institusional ini dapat memicu peningkatan angka golput. Karena masyarakat mungkin berpikir suara mereka sudah tidak memberikan dampak apa-apa,” ujarnya.
2. Visi Misi yang Tidak Terukur dan Cenderung Populis
Dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi membuat cara berpikir masyarakat menjadi pragmatis, konkret dan yang pasti-pasti. Apabila dalam menawarkan program atau visi misi yang tidak terukur bisa membuat masyarakat tidak percaya dan akhirnya tidak memilih.
Banyak calon kepala daerah yang cenderung populis, tidak benar-benar menawarkan konsep yang utuh, hanya gimmick. Yang paling mempersoalkan ini biasanya dari kalangan rasional choice dan kritis.
“Sekarang kita berada pada era post demokrasi yang mana banyak pemimpin yang populis dan memiliki visi misi yang tidak terukur. Wajah politik kita saat ini terlalu eksploitatif dari satu individu terhadap individu yang lain tanpa menawarkan suatu gagasan untuk orang itu memilih. Ini bahaya jangan sampai demokrasi ini hanya proseduralistik tidak esensial lagi,” kata Dosen Fisip Udayana tersebut.
3. Pendekatan Konstituen dari Partai dan Calon
Pendekatan terhadap konstituen dari partai politik dan calon kepala daerah yang tidak memperhatikan kultur masyarakat setempat juga mempengaruhi. Selain itu kurangnya perawatan terhadap konstituen setelah pemilihan berakhir.
“Memang perlunya konektivitas antara konstituen dengan partai politik dan calon itu sendiri biar masyarakat tidak merasa dibutuhkan pada saat pemilihan saja,” ucap dia.
4. Undecided Voters dan Faktor Kandidat
Undecided voters adalah pemilih yang belum menentukan pilihannya. Mereka belum membuat keputusan terkait pilihannya dalam Pilkada. Dalam posisi ini para undecided voters menunggu tawaran konsep atau visi misi yang ideal. Mereka juga menilai individu kandidat dari sudut pandang mereka sendiri (subjektivitas).
“Apakah mungkin figur-figur yang hadir hari ini belum menggugah hati pemilih? Ini harus kita evaluasi bersama. Ada apa? Sehingga demokrasi kita ke depan tidak mengalami sliding back (kemunduran),” pungkasnya.
5. Faktor – Faktor Lain
Faktor lain yang disebutkan mempengaruhi tingginya angka golput pada Pilkada Bali kemarin adalah cuaca, banyak perusahaan swasta yang tidak libur sehingga pemilih (karyawan) tetap bekerja dan agenda pribadi yang bersifat urgen saat hari pemilihan. (*)