Diulas Oleh: I Komang Adi Saputra
Balitopik.com – Setelah sekitar satu pekan menemani waktu senggang, hari ini telah saya rampungkan membaca buku Pramoedya yang berjudul “Arok Dedes” ini. Dalam pembacaan saya, roman sejarah ini menyuguhkan sebuah gambaran yang lebih kredibel dan logis ihwal sosok Arok dalam mengarungi perjalanan politiknya.
Dalam buku sejarah di sekolahan yang selanjutnya berimplikasi pada pemahaman masyarakat secara umum. Kisah Arok-Dedes lebih ditekankan pada aspek mistisisme ‘kutukan Keris Mpu Gandring tujuh turunan’ yang bagi beberapa orang termasuk diri saya susah dicerna dan diterima secara logis sebagai sebuah peristiwa sejarah.
Kembali kepada sosok Arok, dalam penggambaran ajaran sejarah di bangku sekolah, Arok digambarkan sebagai berandalan dari kasta sudra yang doyan merompak dan pada akhirnya menikam Akuwu (Raja) Tumapel, Tunggul Ametung secara keji menggunakan Keris Mpu Gandring yang konon dalam proses pembuatannya dilumuri dengan darah manusia sehingga secara otomatis memuat kutukan keramat.
Arok disebut-sebut merebut kekuasaan Tumapel sekaligus mengambil istri sang Akuwu yakni Ken Dedes.
Buku ini memberikan penggambaran yang berbeda, Arok diceritakan sebagai seorang cerdas nan karismatik sehingga mampu memimpin kawan-kawannya sejak kanak-kanak.
Menginjak usia remaja ia mulai berguru ke berbagai Maha Rsi, lantaran saking cerdas dan cepatnya ia menyerap setiap ajaran para Brahmana tersebut, akhirnya ia direkomendasikan untuk berguru pada Dang Hyang Lohgawe. Seorang Brahmana berpengaruh yang memiliki pandangan politik berseberangan dengan Tunggul Ametung sang Akuwu Tumapel.
Semenjak saat itu, Ken Arok banyak belajar strategi politik dari Dang Hyang Lohgawe, disaat yang bersamaan ia juga tetap memobilisasi pengikutnya untuk terus merekrut anggota dan melakukan berbagai teror terhadap Tentara dan Birokrat Tumapel yang doyan menindas dan merampas kepunyaan rakyatnya sendiri.
Disisi lain, Tunggul Ametung adalah sosok pemimpin yang bengis dan melakukan berbagai penindasan terhadap rakyatnya sendiri. Bahkan sang istri Ken Dedes ia peroleh melalui penculikan untuk kemudian ia peristri.
Selain itu Tunggul Ametung juga melakukan persekongkolan dengan sang penasihat kerajaan , Yang Suci (tokoh spiritual utusan Kerajaan Kediri) untuk memberlakukan kembali perbudakan di wilayah Tumapel. Oleh sebab berbagai tindak kejahatan tersebutlah kaum intelektual mulai membenci kediktatoran Tunggul Ametung.
Dalam kondisi seperti demikian, sosok Arok muncul sebagai tokoh yang diharapkan banyak pihak untuk menyelamatkan rakyat Tumapel. Dengan berbagai kelebihannya, ia mampu menghadirkan cara-cara berpolitik yang progresif dan mutakhir pada masanya sehingga lawan-lawan politiknya tidak dapat mengendus manuver dan gerak politik bawah tanahnya, termasuk Tunggul Ametung sendiri.
Dengan lihai ia bisa melenggang ke Istana untuk menjabat salah satu posisi yang bertugas meredam berbagai pemberontakan di wilayah Tumapel yang sesungguhnya adalah gerakan anak buahnya sendiri, dan atas perintah dirinya sendiri. Disaat yang bersamaan ia juga mampu mempengaruhi istri sang Raja, Ken Dedes untuk bersekongkol dan berpihak pada dirinya.
Pada akhirnya ia mampu menggulingkan Tunggul Ametung dari singgasana kekuasaan, dan menggantikannya menjadi Raja Tumapel melalui tangan-tangan musuhnya sendiri yang terjerumus kedalam skenario dan intrik yang ia siasati sendiri.
Diawali dengan menjatuhkan Mpu Gandring, berlanjut kepada Yang Suci penasihat raja, lalu dalam satu waktu mampu mengalahkan dua musuhnya sekaligus, yakni membunuh Tunggul Ametung menggunakan tangan Kebo Ijo yang terperangkap siasat politiknya.
Oleh beberapa pihak, naiknya Arok ke tampuk kekuasaan Tumapel menjadi kudeta politik pertama di Nusantara dengan cara-cara cerdik nan mutakhir. Berbagai gerakan politiknya sangat progresif pada waktu itu sehingga tidak mampu dipahami oleh elit-elit politik di lingkar kekuasaan.
Didampingi para Raja dan kroninya terlampau mabuk oleh segenap nikmat kekuasaan seperti kumpulan istri muda, pengagungan tiada tara, nikmat berbagai hidangan yang tanpa ujung. Namun semua kemewahan itu diperoleh melalui pemerasan darah dan keringat rakyat. (*)