Balitopik.com – Kemerdekaan Indonesia yang telah berusia 80 tahun adalah capaian monumental sejarah, lahir dari keringat, darah, dan pengorbanan para pejuang yang menginginkan satu hal: bangsa yang berdaulat, adil, dan sejahtera.
Namun, refleksi kritis harus kita lakukan. Sebab, di balik kibaran Sang Saka Merah Putih setiap 17 Agustus, kita masih melihat kesenjangan antara cita-cita proklamasi dan realitas sosial yang ada hari ini.
Secara ekonomi, bangsa ini memang mencatatkan capaian: tingkat kemiskinan turun menjadi 8,47% per Maret 2025, terendah sepanjang sejarah, menurut data BPS. Namun, fakta bahwa masih ada 23,9 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan adalah ironi dalam usia kemerdekaan yang hampir satu abad.
Apalagi, koefisien gini 0,379 (Maret 2024) menunjukkan kesenjangan antarwilayah dan antarkelas sosial belum teratasi. Pertanyaannya: apakah kemerdekaan hanya dinikmati segelintir, sementara sebagian besar rakyat masih berjuang keras untuk bertahan hidup?
Dari sisi hukum dan keadilan, kita patut gelisah. Rule of Law Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 142 negara, bahkan mengalami penurunan skor. Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 masih stagnan dengan skor 37/100, peringkat 99 dari 180 negara.
Angka ini menjadi tamparan keras, bahwa di balik megahnya gedung-gedung peradilan dan institusi penegak hukum, praktik korupsi, impunitas, dan ketidakadilan masih nyata. Hukum kerap tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Apakah ini yang disebut kemerdekaan hukum yang kita cita-citakan?
Di sektor kesejahteraan sosial, kesehatan dan pendidikan memang mencatat kemajuan. Program JKN/BPJS Kesehatan sejak 2014 membuka akses layanan bagi jutaan rakyat, sementara stunting turun ke 21,5% pada 2023. Namun, angka itu masih jauh dari target nasional <14%. Demikian pula pendidikan: meski pemerintah mendorong Merdeka Belajar, skor PISA 2022 masih menunjukkan kualitas literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia tertinggal dari rerata dunia.
Ini berarti, masa depan generasi emas 2045 masih di persimpangan jalan. Apakah kita akan membiarkan ketertinggalan ini berlanjut, atau justru menjadikannya cambuk untuk perubahan radikal dalam pendidikan dan kesehatan bangsa?
Dari data-data di atas menunjukkan, kita memang merdeka secara politik, tetapi masih terjajah oleh kemiskinan, ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Usia 88 tahun bukanlah waktu yang sebentar, tetapi belum cukup jika kemerdekaan hanya sebatas upacara seremonial tanpa perbaikan nyata.
Momentum HUT RI ke-80 harus menjadi alarm kebangsaan. Kita memerlukan arah pembangunan yang tidak hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan distribusi kesejahteraan yang adil.
Kita harus berani memperbaiki sistem hukum yang rapuh agar keadilan tidak bisa diperjualbelikan. Kita harus memperkuat pendidikan dan kesehatan, bukan sekadar program populis, tetapi investasi jangka panjang untuk menyiapkan generasi yang unggul.
Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap rakyat Indonesia, tanpa kecuali, merasakan hadirnya negara dalam hidup mereka. di meja makan, di ruang kelas, di puskesmas desa, hingga di pengadilan.
Inilah panggilan kita di usia 80 tahun merdeka: menepati janji proklamasi untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
TENTANG PENULIS
Herkulanus Sugiono Sutarto: Gerakan Kemasyarakatan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Denpasar.