BALITOPIK.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin, (16/10/2023).
Gugatan yang masuk ke MK terdiri dari beberapa perkara yang diajukan oleh berbagai pihak mulai dari partai politik, perwakilan walikota, mahasiswa hingga warga.
Dalam perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI, perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda, dan perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh kumpulan kepala daerah ditolak oleh MK.
Dengan dalih MK tidak dapat mengubah/menurunkan angka usia Capres-Cawapres serta pilihan alternatif yang diajukan oleh pemohon dalam konteks berpengalaman sebagai “penyelenggara negara” tidak memiliki definisi yang jelas. Sehingga, pada awal-awal sidang kami dan masyarakat merasa lega karena MK menolak gugatan-gugatan tersebut sehingga kita dijauhkan dari praktik politik dinasti.
Namun, ternyata Mahkamah Konstitusi melakukan prank. Karena dalam pembacaan putusan berikutnya, perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dengan Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk sebagai kuasa hukum dikabulkan sebagian oleh MK.
Dalam permohonan itu, pemohon meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan tersebtu diucapkan langsung oleh Anawar Usman selaku ketua hakim MK.
“Dalam kacamata kami, tentunya putusan MK tersebut merupakan pelanggaran serta pelecehan terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan dengan adanya putusan tersebut maka akan ada potensi Gibran Rakabuming Raka diloloskan dan melanggeng menjadi salah satu kandidat Cawapres di pemilu 2024,” tegas Presiden Bem Unud, I Putu Bagus Padmanegara melalui siaran pers, Senin (16/10/2023).
Hal juga, lanjut Padma, terlihat dalam berkas alasan pemohon yang mengidolakan dan menginginkan Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Sehingga dapat dikatakan bahwa putusan MK ini merupakan bentuk pelanggengan dinasti dari keluarga Jokowi.
Dia menilai, bukan tidak mungkin, bahwa persepsi publik selama ini benar bahwa gugatan usia Capres-Cawapres merupakan agenda by design yang dilakukan Jokowi untuk meloloskan anaknya sebagai kandikat Cawapres di Pemilu mendatang. Tentunya hal ini merupakan bentuk cawe-cawe yang dilakukan Jokowi dengan mengotak-atik aturan pemilu demi kepentingan tertentu yang melanggar prinsip-prinsip negara demokrasi.
Apalagi, kata dia, ditambah dengan conlflict of interest yang mana Ketua hakim MK yang mengadili perkara ini merupakan adik ipar dari Jokowi dan merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka.
“Maka sematan bahwa Mahkamah Konstitusi hari ini telah menjadi Mahkamah Keluarga adalah julukan yang benar dan valid. Independensi MK hari perlu dipertanyakan mengingat putusan-putusan yang lahir selalu tidak berpihak kepada masyarakat dan hanya berpihak pada rezim yang berkuasa.”
“Ditambah lagi, ada dugaan pelanggaran kode etik hakim MK ketika menyinggung soal pentingnya peran pemimpin muda dan gugatan usia Capres-Cawapres ketika menjadi pembicara di salah satu kampus di Semarang. Padahal, seorang hakim tidak boleh mengomentari materi gugatan yang disidangkannya sebelum sidang putusan. Artinya, ada dugaan hakim MK memang mendukung gugatan usia Capres-Cawapres sejak lama,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, kewenangan menentukan usia dan persyaratan pencalonan Capres-Cawapres dalam Undang-Undang Pemilu merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah bersama DPR. Hal ini dikarenakan materi dalam pasal tersebut merupakan kebijakan yang sifatnya open legal policy.
Menurutnya, dengan diambilnya kewenangan tersebut oleh Mahkamah Konstitusi, artinya MK telah bertindak offside. Selain itu mereka khawatir bahwa MK telah hilang marwahnya sebagai ‘The Guardian Of Constituon” karena telah menghianati hati masyarakat dengan putusan ini. Juga dinilai, putusan MK tersebut tentunya akan berpotensi melanggengkan praktik politik dinasti yang dilakukan oleh Jokowi selama ini.
Sebab, politik dinasti atau politik kekeluargaan yang dilakukan oleh Jokowi akan menyebabkan bencana bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan politik dinasti akan cenderung bersifat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) serta juga akan menghambat orang-orang yang berkompeten untuk memimpin bangsa ini.
“Maka dari itu, kami BEM Universitas Udayana menolak hukum hanya dijadikan sebagai alat transaksi politik yang pragmatis. Kami juga dengan tegas menolak praktik politik dinasti oleh Jokowi dan menyatakan bahwa putusan MK terkait gugatan usia Capres-Cawapres ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kehidupan berdemokrasi,” tandas Padma.
Data Tunjukan PT BTID Masif Lakukan Invasi di Serangan
Balitopik.com – Data yang disajikan Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL), Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (FRONTIER) dan Wahana Lingkungan Hidup...
Read moreDetails