“Bapak, dulu waktu seusia aku, dunia seperti apa?” tanyaku sambil menyesap teh hangat di meja makan. Dia tersenyum kecil. “Dulu, kami nggak banyak bertanya. Kalau bertanya, bisa hilang.”
Aku diam. Kalimat itu terdengar pedih. “Kalo buatmu, hari ini gimana?” Bapak bertanya balik. Aku mengangkat bahu. “Sekarang, aku dan temen- temen banyak bertanya, protes bahkan. Tapi kayaknya nggak didenger.”
Bapak tertawa sedikit, tapi bukan maksud meledek. Tawanya getir. “Kilat, ya? Bapak dan yang lain, dulu disuruh diem. Kalian sekarang malah dikacangin.”
Dia menarik napas panjang. “Dulu, tentara mengatur semuanya. Bapak kayak hidup di bawah sepatu bot.” Aku tersenyum kecut. “Hari ini mereka dihidupin lagi, Pak, dengan dasi, tanda tangan, aturan dibuat di hotel mewah, weekend pula.”
Di luar, malam turun pelan- pelan. Setelah lama terdiam, Bapak berkata pelan, “Jadi, kita kembali ke tempat yang sama, ya?” Aku menggenggam cangkirku lebih erat. “Mungkin.”
Zaman berubah, sejarah hanya berganti wajah. Yang kita hadapi tetap sama. Ponselku berdering, ada pesan WhatsApp masuk. “Nadira, lo di mana? Ikut nggak?”
Aku tak sadar, Bapak memperhatikan raut wajahku dari tadi. “Jangan pergi sendirian,” katanya lembut. “Pegang erat yang bisa kamu genggam,” tambahnya. Bapak lalu masuk ke kamar. Tubuhnya sudah begitu renta.
Aku mengangguk, tapi tetap menebak-nebak apa maksudnya. Kawan dan prinsip, mungkin itu maksud Bapak. Rangkul seeratnya, jaga sekitar.
Sumber: Instagram @menjadimanusia.id
Nuanu kenalkan Halte Bus Hasil Cetak 3D Pertama di Bali
Balitopik.com - Nuanu Creative City resmi memperkenalkan Bus Stop Enam, halte keenam di kawasan seluas 44 hektar ini sekaligus struktur...
Read moreDetails