Dukamu adalah dukaku.
Air matamu adalah air mataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga ke akhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi. -Sapardi Djoko Damono
Balitopik.com – Penggalan puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul “Dukamu” layak disematkan pada Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Provinsi Bali. Pulau kecil ini berlokasi sekitar 5 kilometer di sebelah selatan dari pusat Kota Denpasar, Bali.
Pulau yang memiliki panjang maksimum 2,9 km dan lebar 1 kilometer ini secara administratif termasuk wilayah Kota Denpasar, Bali. Sejak 32 tahun lalu, pulau ini berubah total pasca terjadinya reklamasi. Pulau Serangan awalnya dengan nama asli Sira Angen yang berarti pulau yang dikangenin, yang dirindukan, bikin kangen sudah berubah total.
Apakah Pulau dengan 7 Banjar itu masih dikangenin, masih ada kenangan, masih disayangi terutama oleh warganya sendiri. Tentu saja sudah tidak lagi. Konon katanya, zaman dahulu, dalam pelayaran yang melelahkan dari Bugis, Makassar, para pelaut itu sering singgah di Serangan untuk mencari air minum.
Setelah minum di sana, mereka pun akhirnya terkena pengaruh ‘sira angen’, merasa sayang atau kangen dengan Serangan. Sehingga, tak sedikit dari pelaut Bugis itu memutuskan menetap di sana. Selanjutnya, mereka pun membentuk pemukiman yang dikenal dengan Kampung Bugis dan beranak-pinak hingga saat ini.
Masyarakat di Pulau Serangan ini secara turun temurun memanfaatkan laut sebagai mata pencahariannya yaitu sebagai nelayan. Namun karena reklamasi yang menyebabkan kawasan pantai berkurang drastis maka penduduknya kebanyakan beralih profesi antara lain ada yang mencari rumput laut, dan usaha di bidang wisata bahari. Penduduk di Pulau Serangan disamping penduduk asli suku Bali juga terdapat pendatang dari berbagai suku diantaranya adalah pendatang dari suku Bugis.
Warga asli Serangan Siti Sapurah alias Ipung mengatakan, pulau yang menjadi tempat ia lahir dan dibesarkan itu kini berubah total. Ini terjadi sejak reklamasi, sejak masuknya investasi seperti Bali Turtle Island Development (BTID).
“Sekarang julukan pulau penyu. Namun penyu sudah hilang pasca reklamasi. Memang ada penangkaran penyu, tetapi penyunya diambil dari luar Bali. Sangat ironis, disebut pulau penyu, tetapi penyunya diambil dari luar,” ujarnya.
Padahal menurut Ipung, saat dirinya kecil, warga Serangan menyaksikan penyu naik ke pinggir pantai untuk bertelur. Namun kini semua sirna karena reklamasi, karena investasi. Kesucian Pulau Serangan terus memudar. Saat ini dalam Pulau Serangan terdapat 8 pura yang suci.
Ada pun 8 pura tersebut adalah Pura Sakenan, Pura Dalam Susunan Wadon, Pura Pakpayung, Pura Tirta Harum, Pura Beji Sakenan, Pura Cemara, Pura Dalem Desa Serangan, dan Pura Khayangan. Sebagian pura tersebut berada dalam kawasan KEK Kura Kura Bali, berada dalam kawasan reklamasi.
“Bisa kah Serangan yang suci itu tetap terjaga? Sekarang saja banyak warga Serangan yang bekerja di luar Serangan. Mereka tidak memiliki tempat di kampung halamannya sendiri. Nelayan berubah menjadi buruh karena lautnya dirampas,” kata dia.
Gempuran investasi secara pelan namun pasti, berpotensi mengubah Serangan yang suci menjadi profan. Bukan tidak mungkin, kawasan itu akan masuk judi, hotel, prostitusi, Miras dan sejenisnya. Ini semua tidak bisa dihindari sebagai dampak dari kapitalisasi wilayah investasi.
“Sekarang saja Pura Sakenan sebagai pura yang memiliki nilai sejarah dan kesucian tinggi di Bali juga sudah dibangun tembok. Radius kesucian pura menjadi tidak abu-abu. Tidak tegas. Ingat. Desa Serangan itu tidak ada upacara Ngaben hanya karena ada Pura Sakenan, karena api atau asap dikuatirkan akan melangkahi Pura Sakenan. Lalu sekarang siapa yang menjamin kesakralan dan kesucian itu,” lanjutnya.
Diprediksi, 10 sampai 20 tahun ke depan, Serangan habis. Bahkan Serangan akan tidak berpenghuni. Pulau yang awalnya suci tersebut kini dijual dengan baju Tri Hita Karana untuk mengundang investor.
Prediksi ini bukan tanpa alasan. Contoh yang paling nyata saat ini adalah nelayan Serangan sudah susah melaut, susah mencari ikan. “Mana mungkin nelayan yang memancing, cari ikan harus pakai identitas seperti rompi dari BTID. Penduduk asli dibuat kaya orang asing di negeri sendiri,” ujarnya.
Filosofi Tri Hita Karana yang menjadi konsep pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dikelolah oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID) itu dijual ke seluruh investor. PT BTID hanya menjual filosofi Hindu Bali untuk kepentingan investor. Tri Hita Karana yang merupakan ajaran Hindu yang mengajarkan manusia untuk menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lingkungan itu telah dikapitalisasi oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID).
Orientasinya hanya pada uang, mengabaikan manusia, alam lingkungan, apalagi Tuhan, sudah terlupakan. Saat ini sebagian besar Pulau Serangan termasuk hasil reklamasi 498 hektar dikuasai oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID). Bahkan telah memiliki lahan atau tanah di luar Kawasan Ekonomi Khusus. Warga setempat semakin tergeser ke pinggiran Pulau Serangan.
Pulau Serangan yang perlahan akan dikenal sebagai Kura Kura Bali itu diisolasi dan dijaga ketat oleh pihak PT Bali Turtle Island Development (BTID). Bahkan masyarakat setempat yang akan melakukan persembahyangan di hari besar keagamaan ke Pura yang ada dalam Kawasan tersebut harus bersurat dulu kepada pihak PT BTID. (AD)