Opini: T.H. Hari Sucahyo
Balitopik.com – Perubahan iklim dan urbanisasi cepat telah menempatkan kota-kota dunia pada persimpangan kritis. Ketika tekanan terhadap sumber daya alam meningkat dan kualitas lingkungan memburuk, muncul kebutuhan mendesak untuk merancang kota-kota masa depan yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga berkelanjutan secara ekologis. Di sinilah ekonomi digital dengan segala inovasi dan disrupsinya masuk sebagai katalis potensial bagi transisi menuju urbanisme hijau dan rendah karbon.
Namun, seiring peluang besar yang ditawarkan, terdapat pula tantangan-tantangan struktural yang perlu dicermati agar kota digital tidak menjadi bumerang bagi keberlanjutan lingkungan. Ekonomi digital tidak hanya mencakup sektor e-commerce dan teknologi informasi, tetapi juga mencakup sistem data, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, hingga infrastruktur jaringan yang menghubungkan manusia, perangkat, dan lingkungan kota secara real-time.
Dalam konteks pembangunan kota, teknologi digital memungkinkan pengelolaan energi yang lebih efisien, transportasi yang lebih bersih, pengurangan limbah melalui sistem pintar, serta perencanaan tata kota berbasis data yang lebih akurat. Dengan menggunakan sensor dan algoritma, kota dapat memantau kualitas udara, lalu lintas, hingga konsumsi energi secara langsung dan menyesuaikan kebijakan secara responsif.
Di kota-kota seperti Amsterdam, Seoul, hingga Singapura, pemanfaatan data digital telah terbukti mengurangi emisi karbon dan meningkatkan kualitas hidup warganya. Misalnya, sistem manajemen lampu lalu lintas berbasis AI telah berhasil mengurangi waktu kendaraan berhenti, yang berarti mengurangi konsumsi bahan bakar dan emisi gas buang. Di sektor energi, sistem smart grid memungkinkan distribusi listrik terdesentralisasi dari sumber energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin, menjadikan kota lebih tangguh terhadap krisis iklim sekaligus hemat energi.
Indonesia sendiri telah memulai inisiatif serupa, seperti Gerakan 100 Smart City, yang bertujuan mendorong digitalisasi tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Namun demikian, pertanyaannya adalah: sejauh mana smart city ini benar-benar mendukung pembangunan rendah karbon? Apakah digitalisasi ini hanya berorientasi pada efisiensi layanan, ataukah juga secara serius mengintegrasikan prinsip keberlanjutan lingkungan dalam fondasi kebijakannya?
Satu hal yang perlu diwaspadai adalah paradoks teknologi: bahwa digitalisasi yang tidak dirancang dengan perspektif ekologis justru bisa memperbesar jejak karbon. Peningkatan penggunaan data center, perangkat digital, dan jaringan komunikasi membutuhkan energi dalam jumlah besar. Laporan International Energy Agency (IEA) menyebutkan bahwa data center global menyumbang sekitar 1% dari total emisi karbon dunia, dan angka ini terus meningkat seiring ledakan data dan konsumsi konten digital.
Selain itu, pertumbuhan e-commerce yang masif juga memicu peningkatan emisi dari sektor logistik dan transportasi. Sistem pengantaran instan dan pengemasan barang yang boros sumber daya memperbesar volume sampah dan polusi. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa pengaturan dan pendekatan berkelanjutan, ekonomi digital dapat menjadi ancaman terselubung bagi agenda hijau di kawasan urban.
Di sinilah pentingnya pendekatan integratif dalam pembangunan kota digital. Pemerintah daerah tidak hanya perlu mengadopsi teknologi mutakhir, tetapi juga harus memastikan bahwa teknologi tersebut memperkuat komitmen terhadap pengurangan emisi karbon. Misalnya, mendorong logistik berbasis kendaraan listrik untuk pengiriman barang, membangun infrastruktur energi hijau bagi data center, serta menyusun regulasi yang mengarahkan startup digital pada prinsip circular economy dan green innovation.
Partisipasi warga kota juga tak kalah penting. Transparansi data lingkungan yang ditampilkan secara terbuka kepada publik dapat mendorong kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga lingkungan kota. Aplikasi pelaporan sampah, pemantauan kualitas udara, hingga pelacakan konsumsi energi rumah tangga merupakan contoh sederhana bagaimana teknologi digital dapat memperkuat partisipasi ekologis warga.
Untuk memperkuat efek positif ekonomi digital terhadap urbanisme hijau, diperlukan pula kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, swasta, akademisi, dan komunitas perlu bersama-sama menyusun peta jalan kota cerdas yang berakar pada keadilan ekologis dan sosial. Kota bukan sekadar ruang aktivitas ekonomi, tetapi juga ruang hidup yang seharusnya sehat, aman, dan berkelanjutan bagi semua kelompok masyarakat, termasuk yang termarjinalkan oleh teknologi.
Pembangunan kota digital yang rendah karbon bukan sekadar soal infrastruktur dan teknologi tinggi. Ini adalah soal visi: bagaimana kita membayangkan masa depan kota, apakah sekadar efisien dan modern, atau juga hijau, adil, dan manusiawi. Di tengah pertumbuhan ekonomi digital yang tak terbendung, kita dihadapkan pada pilihan moral dan politis: membiarkan kota menjadi pasar bebas teknologi yang boros energi, atau mengarahkannya menjadi ruang hidup yang cerdas sekaligus ramah iklim.
Kota masa depan bukan hanya tentang konektivitas 5G, kendaraan otonom, atau aplikasi pintar, tetapi juga tentang bagaimana kota bisa bernapas lega, merawat warganya, dan tetap berpijak pada bumi yang lestari. Jika ekonomi digital dapat ditata menuju arah ini, maka Smart City benar-benar akan membawa kita menuju Green Future. (*)
__________
Tentang Penulis:
Peminat bidang Keutuhan Ciptaan dan Kenaekaragaman Hayati
Penggagas Forum Diskusi “BENIH”
Umat Gereja Santo Athanasius Agung Paroki Karangpanas Semarang