Balitopik.com – Panitia Peple-s Water Forum (PWF) secara resmi telah melaporkan peristiwa pencegahan, penyerangan fisik, pembubaran paksa dan penyanderaan terhadap peserta dan panitia acara diskusi akademik People’s Water Forum (PWF) yang terjadi Denpasar, Bali kepada Komnas HAM, Selasa (23/7/2024).
Aduan itu terkait dugaan adanya keterlibatan oknum-oknum aparat keamanan dan pertahanan, termasuk oknum pejabat pemerintah lokal maupun nasional dalam peristiwa tragedi demokrasi pembubaran paksa acara diskusi ilmiah PWF yang berlangsung di Hotel Oranjje, Denpasar pada tanggal 20 – 23 Mei 2024.
“Panitia People’s Water Forum (PWF) mendesak kepada institusi negara dan aparat hukum Polri dan TNI untuk mengusut tuntas, memeriksa dan menjatuhkan sanksi hukum kepada oknum-oknum sipil dan aparat (Polisi dan TNI) yang diduga terlibat dalam peristiwa pencegahan, penyerangan, pembubaran paksa, pemblokadean dan penyanderaan terhadap panitia, peserta dan pembicara pada acara diskusi PWF di Denpasar, Bali,” ucap panitia PWF melalui keterangan tertulis, diterima, Rabu (24/7/2024).
Seperti yang telah diketahui publik dan viral di media sosial, pada tanggal 20 hingga 22 Mei 2024 telah terjadi aksi demo penyerangan, perampasan atau pencurian atribut diskusi dan pembubaran paksa acara PWF yang dilakukan oleh Ormas Pamswakarsa Patriot Garuda Nusantara (PGN) pada 20 Mei 2024, sore.
Pada hari berikutnya tanggal 21 dan 22 aksi tersebut dilanjutkan lagi dengan aksi blokade dan penyanderaan tempat acara PWF oleh segerombolan orang berpakaian preman serba tertutup dengan memakai topi, masker dan jaket hoodie.
Gerombolan misterius ini mengklaim aksi demonya dengan menggelar spanduk dan menyebut dirinya “Aliansi Masyarakat Bali” dan kelompok “Pecalang MDA” yang berpakaian adat Madya Bali hitam-hitam.
Aksi kelompok sipil pada waktu dan tanggal tersebut di atas juga di backup oleh aparat Satpol PP Denpasar dan Kesbangpol Bali, termasuk yang diduga oknum-oknum aparat intel Polisi dan TNI.
Pasca peristiwa tragedi demokrasi pembubaran paksa acara diskusi PWF itu, pada tanggal 28 Mei 2024, panitia lokal Bali PWF yang didampingi atau diwakili oleh sekitar 20-an advokat hukum yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Demokrasi dan Hukum telah melaporkan peristiwa tersebut secara hukum ke Polda Bali dengan pasal-pasal pidana terkait aksi pencurian (atribut diskusi), penganiayaan (pengeroyokan) dan perampasan kebebasan berpendapat.
“Namun hingga memasuki akhir bulan Juli ini, sejak laporan masuk ke polisi, kami panitia PWF menganggap tidak adanya keseriusan dari pihak Polda Bali untuk membongkar dan mengusut tuntas kasus ini.”
“Sampai hari ini para pelaku penyerangan fisik, pembubaran paksa, pemblokadean dan penyanderaan acara diskusi PWF masih belum ada yang diperiksa polisi dan mereka masih bebas berkeliaran,” kata panitia.
Melihat ketidakseriusan aparat hukum atau polisi dalam menyelidiki dan menyidik peristiwa ini, maka panitia nasional dan lokal PWF selanjutnya berinisiatif melakukan investigasi dan mengumpulkan bukti-bukti, data dan fakta atas peristiwa pembubaran paksa diskusi PWF tersebut.
Dari hasil investigasi dan pengumpulan bukti-bukti, panitia PWF dapat menyimpulkan hal-hak sebagai berikut:
1. Sebelum terjadinya pembubaran paksa acara diskusi PWF pada tanggal 20 – 22 Mei, jauh-jauh hari (sekitar 2 minggu sebelum tgl 20 Mei 2024) telah terjadi upaya-upaya intimidasi, mengorek informasi, dan menyatroni para panitia panitia PWF dengan maksud untuk mencegah atau menghalang-halangi terlaksananya penyelenggaraan acara diskusi akademik PWF oleh oknum-oknum intelijen, baik itu dari oknum intelijen kepolisian di bawah naungan Polda Bali, maupun aparat intelijen BIN (Bali) dan BAIS Mabes TNI.
2. Adapun bentuk atau modus operandi upaya pencegahan dan penghalangan tersebut adalah: A) Menekan pihak pemilik atau pengelola tempat acara yang akan digunakan panitia PWF untuk membatalkan tempat penyelenggaraan acara diskusi PWF yang sebelumnya sudah deal antara pihak pengelola tempat dan panitia PWF. B) Mengorek informasi tentang acara diskusi PWF dengan menghubungi panitia PWF lewat WA dan oknum terduga intel tersebut menggunakan nama samaran orang Bali dan mengaku dari Bali. C) Para oknum intel menyatroni atau mendatangi langsung panitia PWF ke rumah pribadinya, ke kantornya atau ke tempat lainnya, dan menanyakan seputar tentang organisasi terkait acara PWF, dengan maksud untuk mengajak yang bersangkutan/panitia untuk tidak mengadakan acara terkait PWF.
3. Kami menemukan bukti-bukti adanya modus dari pihak oknum intelijen dalam melakukan instruksi, pengarahan, dan permintaan kepada lembaga kultural yakni Majelis Desa Adat atau MDA, pecalang MDA dan Ormas PGN untuk melakukan upaya “pencegahan unjuk rasa.” Adapun yg dimaksud “unjuk rasa” dalam konteks ini adalah acara diskusi PWF.
Saat penyerangan awal ke lokasi diskusi PWF, panitia PWF sudah menjelaskan ke pihak Ormas PGN yg dipimpin “Gus Yadi” bahwa acara PWF ini bukanlah demonstrasi atau unjuk rasa, melainkan acara diskusi akademik yang tertutup dan terbatas karena dilakukan di ruang tertutup dan panitia sama sekali tidak mengundang publik umum dan tidak ada keramaian.
Namun Ormas PGN dan gerombolannya yg bermasker covid/berjaket/berhelm-tutup tetap memaksakan kehendaknya dan memaksa secara fisik membubarkan acara diskusi PWF tersebut dengan alasan utama atas perintah dan menghormati “Surat Himbauan” Gubernur Bali. Padahal jika dilihat dari bentuk aksinya, justru gerombolan PGN itulah yang melakukan aksi unjuk rasa atau demo ke tempat acara diskusi PWF dan secara beringas melakukan “Aksi Anarkis” dengan merusak, merampas dan mencuri berbagai atribut acara diskusi PWF (spanduk, baliho, karya seni lukis).
4. Pihak aparat polisi, satpol pp dan terutama para pentolan ormas preman yang membubarkan paksa dan memblokade tempat acara diskusi PWF selalu menggunakan narasi dan alasan bahwa acara diskusi PWF tidak menghormati “Surat Himbauan” Gubernur Bali. Padahal pada tgl 21 dan 22 Mei pjs. Gubernur Bali pada media sudah membantah bahwa namanya dicatut oleh PGN dan ormas misterius Aliansi Masyarakat Bali (AMB) dan dia sebagai pjs. Gubernur Bali tidak mengenal ormas PGN dan AMB dan tidak pernah menghimbau atau memerintahkan agar acara diskusi PWF dibubarkan.
“Namun, alasan tidak mengenal dan mengelak dari Pj Gubernur tersebut di atas bagi kami panitia PWF adalah upaya yang bersangkutan untuk cuci tangan, karena kami menemukan bukti dan fakta bahwa oknum Kesbangpol Provinsi Bali dan petugas Satpol PP, yang merupakan dinas bawahan Gubernur, ada dan terlibat di lokasi acara PWF.”
“Bahkan ada bukti sangat jelas pimpinan dan petugas Satpol PP termasuk oknum-oknum yang memblokade, mengusir dan melecehkan kedatangan para undangan pembicara diskusi PW. Termasuk Pelapor Khusus PBB urusan Hak Asasi Manusia Atas Air dan Sanitasi, Pedro Arrojo-Agudo, dan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi RI, Dewa Gede Palguna,” tutup mereka. (*)