Balitopik.com, DENPASAR – Paguyuban Mahasiswa Nusa Tenggara Timur Universitas Udayana (PMNTT UNUD) menggelar seminar “Flobamora Muda Bercakap” dengan tema “Stigma Sosial terhadap Orang NTT di Bali: Antara Stereotipe dan Realitas” pada Sabtu (8/11/2025).
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Social Anthropology, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar ini bertujuan menjadi wadah diskursus bagi kalangan mahasiswa, akademisi, dan praktisi untuk membahas persoalan stigma yang menjadi sorotan di Bali beberapa tahun terakhir.
Ketua Panitia, Yusita Yosep, dalam laporannya mengatakan seminar ini menjadi ruang positif untuk mempertemukan berbagai kalangan guna memberikan pandangan terhadap isu yang dekat dengan realitas sosial saat ini.
“Program ini merupakan wadah ruang diskusi bagi kita semua. Kami berharap melalui kegiatan ini kita semua lebih objektif dalam melihat sebuah persoalan dan lebih bijak dalam menyampaikan pendapat, baik di media sosial maupun secara langsung,” ujar mahasiswi Fakultas Ekonomi tersebut.
Harapan senada disampaikan Sekretaris PMNTT UNUD, Evarista Bora, yang mewakili ketua PMNTT. Ia berharap seminar ini dapat berfungsi sebagai jembatan pemahaman.
“Saya berharap seminar ini dapat menjadi wadah yang produktif untuk berdiskusi, berbagi pengalaman, dan membangun jembatan pemahaman antara berbagai kelompok masyarakat,” kata Evarista.
Ketua Umum Flobamora Bali, Herman Umbu Billy, yang turut hadir dan membuka acaranya ini, mengapresiasi inisiatif mahasiswa yang membawa diskusi sensitif ini ke ruang akademik.
“Saya mengapresiasi teman-teman mahasiswa karena sudah membuat diskusi dalam ruang-ruang akademik. Saya berharap melalui ruang seperti ini kita akan mendiskusikan topik ini (stigma) secara lebih bermartabat,” ujar penulis buku Humba 2045 tersebut.
Politik Identitas dan Pemahaman Budaya
Tampil sebagai pembicara pertama, Akademisi Ilmu Politik Universitas Udayana, Efatha Filomeno Borromeu Duarte, menilai stigma sosial terhadap orang NTT di Bali tidak terlepas dari politik identitas dan merupakan hasil konstruksi sosial.
“Stigma sosial terhadap orang NTT tidak terlepas dari adanya politik identitas yang semakin memisahkan antara beberapa kepentingan,” ungkap Efatha.
Lebih lanjut, pendiri Malleum Institute ini menyoroti pentingnya semangat akulturasi melalui pemahaman budaya untuk menciptakan harmoni.
“Secara kultural, orang NTT memiliki nilai solidaritas yang tinggi, tetapi orang Bali memiliki nilai spiritual serupa yang terangkum dalam Tri Hita Karana. Sehingga, orang NTT juga perlu memahami nilai, etika, dan estetika yang orang Bali pakai dalam kehidupannya. Senada dengan demikian masyarakat di Bali dapat mengenal bagaimana lintas kebudayaan NTT melalui kegiatan akademis berdaya guna seperti hari ini” pungkasnya.
Kontribusi di Sektor Informal dan Olahraga
Narasumber lain, Adrian Mahaputra, pemilik akun media sosial @Balinggih, berpandangan bahwa oknum masyarakat Bali yang bersikap rasis sering kali tidak memiliki interaksi atau pertemanan dengan orang NTT. Ia juga menyoroti kontribusi signifikan orang NTT di Bali yang sering luput dari perhatian.
“Kita lihat secara ketenagakerjaan, khususnya di bidang informal di Bali, itu membutuhkan SDM (dari luar Bali). Fokus SDM di Bali itu di bidang pariwisata, keamanan dan pekerja paruh waktu lainnya” ungkap sarjana Komunikasi tersebut.
Ia mencontohkan, banyak orang NTT berkontribusi besar di bidang olahraga seperti combat sport, muay thai, dan tinju dan lain-lain untuk Bali.
Dalam sesi sharing, Herman Umbu Billy menambahkan bahwa motivasi utama kedatangan orang NTT ke Bali adalah untuk “belajar atau bekerja”.
“Perlu kita akui bahwa masih ada satu dua orang yang nakal. Akhirnya kelakuan satu atau dua orang bisa merusak belasan bahkan puluhan ribu orang yang tidak bikin masalah,” katanya.
Ia mengingatkan publik untuk melihat kontribusi positif, seperti para akademisi (Prof. Yohanes Usfunan dan almarhum Prof. Aron) para guru, pastor dan pendeta, serta puluhan ribu pekerja jujur di sektor ritel dan perhotelan. (*)

















