Oleh: Filemon Bram Gunas Junior (Ketua Presidium PMKRI Cabang Denpasar 2025-2026)
Balitopik.com – Raja Ampat adalah titik megabiodiversitas laut global. Lebih dari 75% spesies karang dunia ditemukan di sini, menjadikannya laboratorium alam dan kawasan strategis bagi konservasi planet. Namun, di tengah narasi transisi energi dan pembangunan ekonomi nasional, wilayah ini justru diancam oleh proyek tambang nikel yang secara langsung menggerus keseimbangan ekologis dan sosial masyarakat lokal.
Dalam dokumen resmi pemerintah, proyek pertambangan disebut sebagai bagian dari strategi “hilirisasi industri” namun yang sering luput dari perhatian adalah kenyataan bahwa pembangunan seperti ini tidak netral. Ia memilih pemenang dan pecundang. Dan dalam konteks Raja Ampat, yang dikorbankan adalah masyarakat adat dan alam yang telah dijaga selama ratusan tahun.
Kerusakan Ekologis yang Terukur
Menurut Marine Conservation Institute, sedimentasi akibat aktivitas tambang di kawasan pulau Gag dan Waigeo sudah mencemari kawasan laut yang sebelumnya jernih. Data dari Auriga Nusantara mencatat bahwa sejak 2019 hingga 2023, perluasan izin tambang di Papua Barat meningkat hampir dua kali lipat, termasuk di kawasan Raja Ampat.
Penambangan nikel menyebabkan deforestasi hutan tropis, erosi tanah, dan limbah tambang yang mengandung logam berat seperti nikel dan kromium. Ketika ini mencapai perairan laut, terjadi perubahan kimiawi yang berakibat pada kerusakan terumbu karang dan menurunnya populasi ikan secara drastis.
Dalam jangka panjang, proses ini mengganggu produktivitas laut yang selama ini menjadi sumber utama pangan dan penghidupan bagi masyarakat pesisir. Maka, eksploitasi ini bukan hanya ekologis, tapi juga ekonomi dan eksistensial.
Masyarakat Adat dan Kekerasan Struktural
Proyek tambang nikel di Raja Ampat tidak terlepas dari resistensi masyarakat adat, seperti yang terjadi di Pulau Batan Pelei. Suku Kawei secara terbuka menyatakan penolakan mereka terhadap kehadiran perusahaan tambang. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Sorong Raya (2025), masyarakat menyatakan bahwa mereka tidak pernah memberikan persetujuan bebas, didasarkan pada informasi awal (Free, Prior and Informed Consent/FPIC)—suatu prinsip yang dijamin dalam hukum internasional dan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Ketiadaan persetujuan tersebut adalah bentuk kekerasan struktural: proyek dipaksakan dengan legitimasi negara, sementara suara lokal diabaikan. Dalam konteks seperti ini, pembangunan berubah menjadi bentuk perampasan ruang hidup.
Pariwisata dan Ekonomi Lokal yang Terancam
Sektor pariwisata di Raja Ampat, yang berbasis pada ekowisata berkelanjutan, justru menjadi korban langsung dari proyek tambang. Raja Ampat menyumbang miliaran rupiah per tahun dari sektor pariwisata, yang sepenuhnya bergantung pada keindahan alam bawah laut. Aktivitas tambang dengan limbah, kerusakan hutan, dan pencemaran laut , mengurangi daya tarik kawasan ini secara signifikan.
Hotel-hotel lokal dan operator selam telah menyampaikan kekhawatiran mereka kepada pemerintah pusat, namun suara mereka kalah dengan narasi “kemajuan ekonomi” yang dibawa oleh industri ekstraktif. Ironisnya, dalam mengejar nikel logam untuk kendaraan listrik ramah lingkungan kita justru merusak ekosistem yang jauh lebih penting untuk keberlangsungan hidup planet ini.
Narasi Palsu Pembangunan dan Transisi Energi
Tambang nikel di Papua sering dibingkai sebagai bagian dari green economy. Padahal, proyek-proyek ini adalah contoh nyata dari “greenwashing” membungkus perusakan alam dengan narasi hijau. Transisi energi berbasis kendaraan listrik memang penting, tetapi tidak bisa dicapai dengan merusak wilayah lindung dan melanggar hak masyarakat adat.
Pembangunan yang mengabaikan daya dukung ekologis dan hak komunitas lokal bukanlah kemajuan, melainkan bentuk baru kolonialisme sumber daya: penguasaan tanah dan kekayaan alam oleh modal asing dengan legitimasi kebijakan nasional.
Raja Ampat tidak butuh tambang. Ia butuh perlindungan. Kita tidak bisa membiarkan narasi pembangunan industri melanggengkan kerusakan atas nama pertumbuhan ekonomi. Saatnya kita menuntut model pembangunan alternatif yang berbasis pada keadilan ekologis, penghormatan terhadap masyarakat adat, dan konservasi jangka panjang.
Konservasi dan keberlanjutan bukan hambatan pembangunan , mereka adalah fondasinya. Jika Raja Ampat simbol kekayaan hayati dunia bisa ditambang, maka tidak ada lagi tempat yang aman dari kerakusan industri. (*)