Balitopik.com – Aktivis antikorupsi Gede Angastia alias Anggas kembali melaporkan Anggota DPR RI asal Bali Gde Sumarjaya Linggih alias Demer atas dugaan pelanggaran kode etik ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada 27 Maret 2025.
Anggas menganggap Demer telah melanggar kode etik sesuai UU Nomor 17 tahun 2014 pasal 236 karena saat masih anggota DPR RI aktif, Demer juga menjabat sebagai komisaris PT Energi Kita Indonesia (PT EKI). PT EKI akhirnya terbukti terlibat korupsi dana Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 senilai sekitar Rp 319,69 miliar.
“Saya sudah mendatangi MKD DPR RI untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan dugaan keterlibatan Demer atas kasus korupsi PT EKI kemarin. Katanya setelah Lebaran kemarin (Demer) akan dipanggil,” kata Anggas di Denpasar, Senin (21/4/2025).
Anggas menjelaskan, bahwa, pada awal tahun 2020 Kementerian Kesehatan menunjuk PT EKI dan PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) sebagai pengelola atau pengadaan APD Covid-19 dengan anggaran sebesar Rp 3,3 triliun. Di PT EKI saat itu Demer sebagai komisarisnya.
Anggas menduga penunjukan PT EKI sebagai penyedia APK Covid-19 itu akibat kongkalikong atau lobi yang dilakukan Demer karena saat itu Demer adalah komisaris yang juga sebagai Anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi dan BUMN.
“Saya melaporkan karena saya melihat Demer ini sangat melanggar kode etik karena rangkap jabatan. Pada saat Covid-19, Kementerian Kesehatan menunjuk PT EKI mengelola dana APD dan saat Demer sebagai komisarisnya, ini melanggar kode etik sesuai UU Nomor 17 tahun 2014 pasal 236,” kata dia lagi.
Kronologi Kasus Korupsi APD Covid-19
Direktur Utama PT EKI Satrio Wibowo, Direktur Utama PT PPM Ahmad Taufik, dan eks Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana menjadi terdakwa perkara korupsi APD Covid-19 di Kementerian Kesehatan.
Disadur dari berbagai sumber, ketiganya diduga merugikan negara sebanyak Rp 319,69 miliar. Kerugian ini terjadi akibat perbuatan para terdakwa yang memperkaya Satrio sebesar Rp 59,98 miliar, Ahmad Rp 224,19 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp 25,25 miliar, serta PT GA Indonesia Rp 14,62 miliar.
Ketiganya didakwa melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang tanpa menggunakan surat pesanan. Mereka juga diduga melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta pasang, serta menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 10 miliar untuk membayarkan 170 ribu pasang APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran.
Ketiga terdakwa juga diduga menerima pembayaran terhadap 1,01 juta pasang APD merek BOHO senilai Rp 711,28 miliar untuk PT PPM dan PT EKI. Padahal, PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
PT EKI dan PT PPM juga diduga tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK. Sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel.
Perbuatan ketiga terdakwa korupsi APD diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (*)