“Korupsi adalah cermin di mana kita semua berkaca: para elit melihat diri sebagai pahlawan, rakyat melihat diri sebagai korban, padahal kita semua terjebak dalam teater absurd yang sama. Untuk keluar, kita perlu lebih dari sekadar hukum – kita perlu keberanian untuk mengubah narasi.”
-Mimbar Bebas Mahasiswa Sastra Unud & Eksponen Aktivis 98, Denpasar, Kamis 30 Januari 2025.
Balitopik.com – Di Indonesia, korupsi bukan lagi kejahatan. Ia telah menjadi ritual kekuasaan yang dirayakan dengan pesta pora uang rakyat. Oligarki—kelompok elite penguasa dan pengusaha—telah mengubah republik ini menjadi medan perburuan, di mana hutan, tambang, dan anggaran negara adalah mangsa, sementara hukum hanyalah senjata pilihan untuk melindungi yang kuat. Inilah kisah tentang bagaimana korupsi dan oligarki menghancurkan Indonesia dengan kebrutalan yang tak tertandingi.
Menurut Transparency International (2023), Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, dengan skor yang masih jauh dari harapan. Bahkan, menurut Bank Dunia (2022) memperkirakan kerugian negara akibat korupsi mencapai 2-3% dari PDB Indonesia per tahun (sekitar Rp400-600 triliun). KPK, lembaga yang dahulu disegani, kini mulai kehilangan taringnya, nyaris terjerat dalam pusaran kepentingan politik.
Dalam dua dekade reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap ratusan koruptor, tetapi praktik korupsi tetap merajalela. Di tengah kegagalan sistemik ini, wacana hukuman mati bagi koruptor mengemuka sebagai solusi “kejut” yang kontroversial. Namun, di balik retorika keadilan, tersembunyi dilema filosofis, hukum, dan kemanusiaan yang kompleks. Di tengah keputusasaan ini, muncul seruan yang mulai coba digulirkan: “Prabowo. Hukum mati koruptor”. Sebuah tuntutan yang keras, sebuah jalan yang terjal, tapi mungkinkah menjadi satu-satunya solusi?
Sudah barang tentu ini banyak dilemanya. Banyak catatan yang menyebutkan jika hukuman mati tidak menjamin bahwa praktek korupsi tidak serta merta akan hilang, bahkan ia nyaris yang bisa menjadi penyangga bagaimana republik ini tegak berdiri. Bukan sila-sila dalam Pancasila, melainkan korupsi sebagai stabilizer sosialnya.
Amnesty International mengecam hukuman mati sebagai bentuk pelanggaran hak hidup yang tidak dapat dibenarkan, bahkan untuk kejahatan berat. Selain melabrak HAM, dimana Konstitusi Indonesia (Pasal 28A UUD 1945) juga menjamin hak hidup sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hukuman mati bagi koruptor bisa memberi peluang menguatnya kembali otoritarianisme baru.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki celah hukum untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor menyatakan bahwa jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu—misalnya saat bencana atau dalam kondisi krisis ekonomi—maka hukuman mati bisa dijatuhkan. Namun, pasal ini lebih sering menjadi “macan kertas” daripada kenyataan yang diterapkan.
Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan, jika rakyat menghendaki. Namun, dalam praktiknya, tidak ada satu pun kasus korupsi yang berujung pada eksekusi. Mengapa? Karena hukuman mati bagi koruptor bukan sekadar soal hukum, tapi juga soal keberanian politik. Di negeri di mana banyak politisi dan pejabat tinggi terlibat dalam skandal korupsi, siapa yang berani menggoreskan tinta untuk menandatangani eksekusi? Apakah para pemimpin berani menegakkan keadilan, jika hukum bisa menjerat kolega mereka sendiri.
Hukuman mati bagi koruptor memang dilematis. Ia menawarkan janji keadilan, tapi juga membuka ruang bagi kesewenang-wenangan. Ia bisa menjadi senjata yang ampuh, tapi juga bisa menjadi bumerang yang menghancurkan kredibilitas hukum.
Namun, satu hal yang pasti: Indonesia tidak bisa terus berdiam diri. Entah dengan hukuman mati, hukuman seumur hidup, atau penyitaan aset total—korupsi harus dilawan dengan keberanian, bukan sekadar wacana. Di ujung jalan ini, pilihan ada di tangan kita: mau terus terjebak dalam lingkaran gelap, atau berani menegakkan keadilan dengan cara yang paling mungkin?
Sudah barang tentu ini dilema yang tidak mudah, dan sialnya, kita nyaris tak ada memiliki roadmap untuk bisa keluar dari jerat lingkaran setan ini, selain dari rasa cemas yang mulai menghantui. Seperti yang dikatakan Hannah Arendt “Kekerasan mungkin adalah bahasa bagi mereka yang tak lagi punya bahasa, dimana hukuman mati adalah tragedi. Tapi lebih tragis lagi membiarkan tragedi terus berulang.”
Dan ini adalah maklumat, diantara mimpi serta kemuakan yang sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi. PRABOWO. Hukum Mati Koruptor! (*)